Teknologi Digital dan Pendidikan


SALAH satu kosakata yang begitu populer selama beberapa tahun terakhir ialah “digital”. “Digital” disematkan dalam berbagai kosakata seperti era digital, transformasi digital, teknologi digital, pemerintahan digital, pasar digital, dan UMKM digital. Di ranah pendidikan, kata digital pun marak digunakan. Istilah pembelajaran berbasis digital, pendidikan digital, sekolah digital, buku digital, perpustakaan digital, literasi digital, talenta digital, dan inovasi digital semakin akrab didengar. Pembahasan digital juga dikaitkan dengan revolusi 4.0 atau society 5.0.

Apalagi selama masa pandemi, terdapat ragam webinar yang mengajak para guru dan siswa untuk memasuki dunia pendidikan digital dengan ragam tawaran akan efisiensi, kepraktisan, dan kemudahannya. Promosi yang diajukan, antara lain terkait dengan program belajar, kemudahan belajar di mana pun dan kapan pun, kumpulan latihan soal dan penyelesaiannya, akses terhadap video pembelajaran, materi pembelajaran, pembelajaran mandiri, dan lain-lain.

Pertanyaan yang kemudian patut diajukan, apakah anak-anak Indonesia sudah siap memasuki ekosistem pendidikan digital dengan ragam keuntungan yang bisa didapatkan? Atau justru ekosistem ini masih sulit dijangkau sebagian besar anak-anak di Indonesia? Rilis BPS (2021) pada Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) 2020 menunjukkan beberapa hal. Pertama terdapat tujuh provinsi (Aceh, Sumatra Selatan, Lampung, NTB, Kalbar, Sulawesi Tengah, dan Maluku) yang mengalami pergeseran kategori dari rendah pada 2019 menjadi sedang pada 2020.

Kondisi itu, menurut rilis BPS, menggambarkan adanya perbaikan pembangunan TIK di Indonesia. Namun, menurut BPS, kesenjangan pembangunan TIK cenderung mengalami peningkatan. Hal itu ditunjukkan dengan semakin lebarnya jarak antara IP-TIK tertinggi dan terendah. Pada 2019 jarak antara IP-TIK tertinggi (Provinsi DKI Jakarta) dan terendah (Provinsi Papua) ialah 3,98 dan pada 2020 menjadi 4,11.

Merujuk pada data tersebut, tampaknya digitalisasi belum dapat dirasakan seluruh penduduk di Indonesia sehingga digital masih cenderung ditempel pada berbagai kosakata atau bahkan semata menjadi tagline. Kesenjangan TIK yang ada di Indonesia perlu menjadi perhatian utama jika pemerintah ingin masuk ke ekosistem digital. Jika tidak, guru dan siswa yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas TIK akan semakin tertinggal. Selain persoalan akses, ekosistem digital juga memerlukan kesiapan guru dalam memanfaatkan TIK dalam menunjang proses pembelajaran. Kapasitas guru untuk menjadi subjek mandiri dalam mengeksplorasi berbagai pengetahuan yang terserak menjadi krusial. Guru perlu memiliki ketangkasan dalam berselancar di dunia digital dan menjadikannya kekuatan dalam mendidik anak-anak.

Jika ditelusuri Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek), ada beberapa layanan digital yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan. Di antaranya seperti perpustakaan digital (perpustakaan.kemdikbud.go.id), buku digital (buku.kemdikbud.go.id), KIHAJAR (kihajar.kemdikbud.go.id), guru belajar dan berbagi (gurubelajardanberbagi.kemdikbud.go.id), portal rumah belajar (belajar.kemdikbud.go.id), aplikasi merdeka mengajar (guru.kemdikbud.go.id), dll. Yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah layanan digital tersebut sudah dimanfaatkan dengan optimal oleh para guru ataupun siswa di seluruh Indonesia?

Tentu, perlu dipastikan berbasis data yang dimiliki Kemendikbud-Ristek. Sepatutnya Kemendikbud-Ristek memiliki data akurat mengenai pemanfaatan layanan itu. Data ini menjadi penting untuk menjadi acuan mengenai optimalisasi berbagai layanan yang sudah dibuat pemerintah. Karakteristik guru dan sekolah di wilayah mana yang mengakses layanan tersebut? Guru dan sekolah mana yang tidak terakses dengan layanan digital tersebut.

Saya misalnya pengguna aktif perpustakaan digital milik Kemendikbud-Ristek. Dengan memasang aplikasi eperpusdikbud saya dapat meminjam buku-buku dan koran-koran nasional. Namun, setiap ada kegiatan dengan para guru, kebanyakan dari mereka tidak mengetahui bahwa ada aplikasi itu. Demikian juga dengan aplikasi iPusnas, masih ada guru yang tidak mengetahui manfaat aplikasi tersebut untuk membaca banyak buku.

Selain layanan digital yang disediakan pemerintah, jika kita telusuri platform distribusi digital ada berbagai aplikasi belajar digital yang menawarkan kemudahan bagi para guru maupun siswa. Tentu saja, jika ragam aplikasi tersebut dapat diakses dan dimanfaatkan dengan baik, akan sangat bermanfaat untuk guru dan siswa dalam membantu kelancaran pembelajaran. Namun, dalam praktiknya aplikasi itu lebih cenderung dimanfaatkan guru dan siswa di wilayah perkotaan. Sementara itu, guru dan siswa di wilayah minim akses sulit untuk mengoptimalkan berbagai aplikasi digital, baik yang disediakan pemerintah maupun pihak nonpemerintah.

 

Peluang konektivitas

UNICEF (2017) dalam publikasi Children in a Digital World, memaparkan adanya peluang konektivitas yang dapat membuat anak-anak yang terpinggirkan dapat memenuhi potensi mereka dan memutus siklus kemiskinan antargenerasi. Laporan ini menyebut teknologi digital dapat membawa kesempatan belajar dan pendidikan bagi anak-anak. Terutama, di wilayah terpencil dan di situasi krisis. Tentu saja, hal itu dapat dilakukan dengan prasyarat terpenuhinya ragam fasilitas teknologi dan informasi yang dapat diakses setiap penduduk. Namun demikian, laporan ini juga mengingatkan mengenai rentannya anak-anak terhadap risiko kehilangan privasi, intimidasi, eksploitasi, dan kekerasan seksual melalui berbagai medium digital.

Menyimak laporan Unicef tersebut, apa yang disampaikan Selwyn (2011) dalam Education and Technology: Key Issues and Debates perlu diperhatikan. Selwyn (2011) memaparkan mengenai pentingnya bagi kita untuk menyadari bahwa teknologi pendidikan tidak selalu mengubah keadaan menjadi lebih baik. Teknologi digital, menurut Selwyn, tidak selalu memungkinkan seseorang untuk bekerja lebih efisien, atau mendukung mereka melakukan apa yang diinginkan. Dalam hal itu, peran manusia menjadi sangat penting. Pada sisi mana yang akan dioptimalkan untuk mendukung pendidikan? Atau justru teknologi digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi.

Menjadi sangat krusial misalnya, tetap kembali ke prinsip mendasar dalam pendidikan, yaitu keinginan untuk terus belajar, meminjam terminologi Bell Hooks (2003), ada keinginan untuk belajar, the will to learn. Hooks menyebut The World as Classroom, para pendidik perlu diajak untuk mendiskusikan ragam isu untuk meningkatkan keperdulian anak didik mengenai situasi sosial di sekitar mereka seperti baik tema imperialisme, ras, gender, kelas sosial, isu seksualitas, maupun ketimpangan. Dalam konteks Indonesia misalnya, teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk saling mengenal antarsuku, kelas sosial, atau agama yang beragam. Teknologi dapat digunakan untuk mendukung aksi pendidikan tersebut.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »