Sajak-sajak Frans Ekodhanto Purba 


Ilustrasi: Subroto S M, Ibu dan Anak, akrilik di atas kanvas, 50×38 cm, 1983. Koleksi Galeri Nasional Indonesia. 

Di Batu Pengharapan 

di batu pengharapan 

batas antara cemas – hampa 

kata kata patah ketika 

makna mulai gelisah 

masa depan jadi serpihan debu 

habis dicampak kesiur angin 

lenyap dihisap dunia 

dan kau masih saja 

mesra dalam dekap  

kenang bayang tanpa bayang 

meski waktu waktu berlalu

meninggalkan batu, semu, ngilu

sebelum pilu membilang rindu

tak kunjung pulang 

di batu pengharapan

ah, aku meregang 

Kereta subuh, 2022 

 

Aku Masih Di Sini 

aku masih di sini 

seperti sebatang puisi, sendiri

memintal cerita jadi kenangan

menjengkal jarak antara kesetiaan

dan rindu tanpa pilu

sebelum angin meniupnya serasa debu

aku masih di sini, percayalah

meski rasa rasanya tak biasa

tapi aku selalu membiasakannya

agar suatu kelak yang entah

ada kapal bermuara 

melunas pulang yang rumah, mungkin

dan bisa jadi 

selama musim belum memesan takdir

jadi serpihan serpihan pedih yang memerih

aku masih di sini

dalam tekun batu batu

diam doa doa

Kereta subuh, 2022 

Batas Maut 

sudahlah ibu, mereka tak bakal tahu

ini bukan lantaran minyak goreng langka

tak juga karena harganya menggila

tapi mereka tak akan merasa

karena mereka bukan kita

dan kita jangan memesan sumpah

kelabuilah keadaan, meski perutmu lapar

air matamu kering, mimpimu keriting 

tak ada guna sumpah serapah

apalagi sesal atas suratan nasib

sebab hidup hanyalah persoalan kecerdikan

di batas maut

Kereta subuh, 2022 

Ikan Tanpa Kepala 

aku tumbuh menjadi aku yang bukan aku

kau membentuk aku menjadi dirimu

bukan. bukan bayang bayang dari 

kau yang aku. tapi aku yang kau. tapi bukan kau yang aku. 

di kepalaku, beruas ruas kenangan bahkan mimpi mimpi birumu. 

sampai suatu ketika pacarku bertanya: siapa dirimu. aku gugup gagap mendefinisikannya. 

kau tahu, untung saja saat itu ada orang gila berebut ikan dengan kucing liar. 

seperti bapakmu, aku dengan cerdas mendefinisikan aku seperti ikan tanpa kepala 

dipertaruhkan orang gila – kucing liar dengan selembar nyawanya. 

Kereta subuh, 2022 

Kepadamu Kutitipkan Sepucuk Masa Depan 
: untuk Anies Baswedan 

Lima puluh tiga burung memeluk cakrawala 

kuat sayapnya menghimpun kisah 

tak jarang bermetamorfosa jadi loncatan loncatan doa. 

Seekor di antaranya, 

dari ranting ranting waktu 

meneropong masa lalu 

menggaris harapan bagi 

setiap perjalan tanpa kecemasan.

Dari sudut ini bumi, 

serupa malam malam penuh rahasia

kepadamu kutitipkan sepucuk masa depan

yang tak berairmata. 

Jadilah cahaya, 

nyatalah kita

makna dari setiap rasa. 

Kereta subuh, Mei 2022 

Serupa Hujan Membasuh Muka Muka Tanah 
: untuk M Chozin Amirullah 

Serupa hujan membasuh muka muka tanah 

tak hanya mengirim basah, menghapus dahaga 

begitulah kau nyata di antara aku, mereka dan kami. 

Kata katamu, tumbuh selaiknya padi padi di sawah 

memberikan harapan pada manusia agar kelak di persimpangan musim yang entah 

tak ada lapar yang tersesat di limbung siasat. 

Maknanya menafaskan langkah bagi para pengelana 

tak sekadar melunaskan perjalan atas jarak pada pencarian

Serupa doa di malam malam payah

demikianlah aku mengamini perjumpaan kita

sebelum isyarat menjelma maut di pangkal subuh yang rapuh

Selamat berulang umur yang tak hanya menuai tua 

selamat merayakan anugerah atas hidup dan penghidupan yang menghidupi mimpi 

karena, bagiku dan mungkin juga bagi mereka 

Kelahiranmu tak sekadar menulis hikayat mengulang riwayat 

kehadiranmu meneduhkan cemas, melelapkan rindu di pangkuan cahaya 

sebelum airmata berulang rahasia: 

Kereta subuh, Juni 2022 


 

Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor
Baca juga: Sajak-sajak Boris Pasternak 
Baca juga: Tak Ada Sesuatu yang Baru di Bawah Matahari 

 

 

 

Frans Ekodhanto Purba, penyair nasional, lahir di Sei Suka Deras, Batu Bara, Sumatra Utara, pada 8 Juli 1986. Ia menamatkan pendidikan sarjana Bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat (tamat 2009). Dalam dunia sastra, dia pernah menjadi peserta pada Jakarta International Literary Festival 2011 di Jakarta, Temu Sastra Indonesia IV di Ternate, 2011, dan sebagainya. Buku kumpulan puisinya yang telah terbit, yaitu Kelana Anak Rantau (Koekoesan, Depok, 2013) dan Marhajabuan (Yayasan Pusat Kebudayaan Dewantara, Jakarta, 2018). Karya-karya Frans pernah tayang di sejumlah surat kabar nasional. Sempat diundang mengunjungi Singapura pada helatan contemporary art exhibition di Museum of Contemporary Art Singapore, pada 2013. Pernah juga diundang untuk tampil pada Theatrical Poetry Performance dalam rangka Hari Bahasa Rusia di Pusat Kebudayaan Rusia, Jakarta, pada 2015. Ia adalah peraih juara Lomba Menulis Puisi Mitologi Bentara Budaya 2011 di Bentara Budaya Bali untuk puisinya Cerita Tiga Rupa. Kini, tinggal dan bekerja di Jakarta. (SK-1) 



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »