Ilustrasi: Subroto S M, Ibu dan Anak, akrilik di atas kanvas, 50×38 cm, 1983. Koleksi Galeri Nasional Indonesia.
Di Batu Pengharapan
di batu pengharapan
batas antara cemas – hampa
kata kata patah ketika
makna mulai gelisah
masa depan jadi serpihan debu
habis dicampak kesiur angin
lenyap dihisap dunia
dan kau masih saja
mesra dalam dekap
kenang bayang tanpa bayang
meski waktu waktu berlalu
meninggalkan batu, semu, ngilu
sebelum pilu membilang rindu
tak kunjung pulang
di batu pengharapan
ah, aku meregang
Kereta subuh, 2022
Aku Masih Di Sini
aku masih di sini
seperti sebatang puisi, sendiri
memintal cerita jadi kenangan
menjengkal jarak antara kesetiaan
dan rindu tanpa pilu
sebelum angin meniupnya serasa debu
aku masih di sini, percayalah
meski rasa rasanya tak biasa
tapi aku selalu membiasakannya
agar suatu kelak yang entah
ada kapal bermuara
melunas pulang yang rumah, mungkin
dan bisa jadi
selama musim belum memesan takdir
jadi serpihan serpihan pedih yang memerih
aku masih di sini
dalam tekun batu batu
diam doa doa
Kereta subuh, 2022
Batas Maut
sudahlah ibu, mereka tak bakal tahu
ini bukan lantaran minyak goreng langka
tak juga karena harganya menggila
tapi mereka tak akan merasa
karena mereka bukan kita
dan kita jangan memesan sumpah
kelabuilah keadaan, meski perutmu lapar
air matamu kering, mimpimu keriting
tak ada guna sumpah serapah
apalagi sesal atas suratan nasib
sebab hidup hanyalah persoalan kecerdikan
di batas maut
Kereta subuh, 2022
Ikan Tanpa Kepala
aku tumbuh menjadi aku yang bukan aku
kau membentuk aku menjadi dirimu
bukan. bukan bayang bayang dari
kau yang aku. tapi aku yang kau. tapi bukan kau yang aku.
di kepalaku, beruas ruas kenangan bahkan mimpi mimpi birumu.
sampai suatu ketika pacarku bertanya: siapa dirimu. aku gugup gagap mendefinisikannya.
kau tahu, untung saja saat itu ada orang gila berebut ikan dengan kucing liar.
seperti bapakmu, aku dengan cerdas mendefinisikan aku seperti ikan tanpa kepala
dipertaruhkan orang gila – kucing liar dengan selembar nyawanya.
Kereta subuh, 2022
Kepadamu Kutitipkan Sepucuk Masa Depan
: untuk Anies Baswedan
Lima puluh tiga burung memeluk cakrawala
kuat sayapnya menghimpun kisah
tak jarang bermetamorfosa jadi loncatan loncatan doa.
Seekor di antaranya,
dari ranting ranting waktu
meneropong masa lalu
menggaris harapan bagi
setiap perjalan tanpa kecemasan.
Dari sudut ini bumi,
serupa malam malam penuh rahasia
kepadamu kutitipkan sepucuk masa depan
yang tak berairmata.
Jadilah cahaya,
nyatalah kita
makna dari setiap rasa.
Kereta subuh, Mei 2022
Serupa Hujan Membasuh Muka Muka Tanah
: untuk M Chozin Amirullah
Serupa hujan membasuh muka muka tanah
tak hanya mengirim basah, menghapus dahaga
begitulah kau nyata di antara aku, mereka dan kami.
Kata katamu, tumbuh selaiknya padi padi di sawah
memberikan harapan pada manusia agar kelak di persimpangan musim yang entah
tak ada lapar yang tersesat di limbung siasat.
Maknanya menafaskan langkah bagi para pengelana
tak sekadar melunaskan perjalan atas jarak pada pencarian
Serupa doa di malam malam payah
demikianlah aku mengamini perjumpaan kita
sebelum isyarat menjelma maut di pangkal subuh yang rapuh
Selamat berulang umur yang tak hanya menuai tua
selamat merayakan anugerah atas hidup dan penghidupan yang menghidupi mimpi
karena, bagiku dan mungkin juga bagi mereka
Kelahiranmu tak sekadar menulis hikayat mengulang riwayat
kehadiranmu meneduhkan cemas, melelapkan rindu di pangkuan cahaya
sebelum airmata berulang rahasia:
Kereta subuh, Juni 2022
Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor
Baca juga: Sajak-sajak Boris Pasternak
Baca juga: Tak Ada Sesuatu yang Baru di Bawah Matahari
Frans Ekodhanto Purba, penyair nasional, lahir di Sei Suka Deras, Batu Bara, Sumatra Utara, pada 8 Juli 1986. Ia menamatkan pendidikan sarjana Bahasa Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Jawa Barat (tamat 2009). Dalam dunia sastra, dia pernah menjadi peserta pada Jakarta International Literary Festival 2011 di Jakarta, Temu Sastra Indonesia IV di Ternate, 2011, dan sebagainya. Buku kumpulan puisinya yang telah terbit, yaitu Kelana Anak Rantau (Koekoesan, Depok, 2013) dan Marhajabuan (Yayasan Pusat Kebudayaan Dewantara, Jakarta, 2018). Karya-karya Frans pernah tayang di sejumlah surat kabar nasional. Sempat diundang mengunjungi Singapura pada helatan contemporary art exhibition di Museum of Contemporary Art Singapore, pada 2013. Pernah juga diundang untuk tampil pada Theatrical Poetry Performance dalam rangka Hari Bahasa Rusia di Pusat Kebudayaan Rusia, Jakarta, pada 2015. Ia adalah peraih juara Lomba Menulis Puisi Mitologi Bentara Budaya 2011 di Bentara Budaya Bali untuk puisinya Cerita Tiga Rupa. Kini, tinggal dan bekerja di Jakarta. (SK-1)



Recent Comments