Sajak-sajak Didik Wahyudi 


Ilustrasi: MI/Sajak Kofe 

Tempat Bersabar 

Pohon rindang di ketinggian 

Duduk tenang seperti gajah 

Pemberontakan tinggal di bawah 

Jangankan bisikannya 

Rangkap dua ratus teriakannya pun 

masihlah jauh mendekati kata dekat 

Gajah yang tenang. Di ketinggian 

Ada pohon-pohon begini rindang. 

(2022) 

Tempat Layang-Layang

Suatu hari ia terbang 

Tinggi 

Tinggi sekali 

Kemudian hujan 

Menurunkannya kembali ke bumi 

Di bumi ia kangen langit 

Di langit ia lupa bumi 

Seorang bocah ingusan 

Yang memainkannya 

dengan sepenuh hati 

Dan bukan lantaran iseng. 

(2022) 

Tempat Bermain

Baiklah, penyair. Ini air

usap wajahmu. Usap matamu

Lihatlah ke luar jendela 

Lihatlah tanah lapang itu

Dan perhatikan mereka 

Bocah-bocah yang sedang bermain 

Lincah kakinya cerah wajahnya 

Membawa bola menahan bola 

Menipu dan ditipu lawan juga 

Wajah yang murung 

Dan kaki yang lamban, penyair

Bermain jujur tidak menipu

Bahkan bangku penonton pun 

Tak berminat memberikan tempat. 

(2022)

Tempat Kerja

Marilah menghormati kami 

Silakan tunggu 

di luar sembari ngopi 

Demonstrasi tidak dilarang 

Sejauh-jauh kata berkata 

Kepada kami tempat berpulang 

Mari bekerja. 

(2022) 

Tempat Sampah 

Kaleng bekas susu masuk 

Kerupuk hilang nyawa datang 

Masuk yang gugur 

Datang yang sisa 

Bekas-bekas percintaan 

Benda-benda terbengkalai 

Dan yang bagus, maaf, 

Kami tidak memerlukan kalian 

Teruslah berjuang 

sampai semua keinginan 

berhasil kita gapai. 

(2022) 

Tempat Berkeluh 

Di atas bumi ada lantai 

Di atas lantai ada selembar kain 

Dan di atas selembar kain ada tubuh 

yang sedang khusyuk memikul beban 

Beban hidup sehari-hari 

yang dikumpulkannya 

sedikit demi sedikit

lama lama 

Pecah menjadi tangisan. 

(2022) 

 

Teruslah berjuang sampai semua keinginan berhasil kita gapai. 

Potret Badan 

Di sini ia tidak bersedih sayangku 

Benda dan sifat bercampur-campur 

Kitab dahulu jatuh di kubur 

Tak akan dapat menangkap makna 

Di sini jalan bersilang seberang sayangku 

Banyak cara memberi cinta 

Banyak cara memikul nasib 

Masing-masing boleh mendongeng 

Yang sudah bicara boleh mendengar 

Yang mendengar boleh mencerna 

Dan yang mencerna mengatur 

ulang kata. Bekal bicara di lain mimbar 

Di sini berjalan sepi sayangku 

Orang tertawa enteng didengar 

Tawa sendiri sudah ditanam 

Di musim depan lihat hasilnya. 

(2022) 

Tarekat Harun (1) 

Diantar Harun dua seanak 

Ke sekolah pagi di musim wabah 

Embun, kabut, oh harapan 

berjalan mereka mengendap-endap 

Datang Harun beku dibelah 

Membuat tawa di taman kampung 

Habis sudah berita duka 

Orang-orang membuka tudung 

Dinanti Harun dua seanak 

Sekali jalan ke dalam rengkuh 

Rindu cemas soalan anak 

Membawa Harun menuju senja 

Senja adalah tikus-tikus 

Makhluk Gusti setengah iblis 

Berlari Harun ke arah kapal 

Nuh, Nuh, temani kami menyelamatkan hidup. 

(2022) 

Tarekat Harun (2) 

Harun mati berkali-kali

Lahir Harun berulang kali

Di pasar Harun sibuk menimbang

Di jalan sibuk mengukur-ukur

Harun pergi mendaki gunung

Melihat kota di ketinggian 

Seribu kerlip bahkan lebih

Dimana kerlip rumah kekasih? 

Kekasih Harun jauh di garam

Di tepi laut mati kapalnya

Suatu malam malam memeluk 

Panjang hangatnya ingatan Harun

Turun, turun Harun pulang 

ke rumah. Berjalan bumi sehari-hari

Hijau pagarnya besi betina

Tidur Harun tidak bergerak. 

(2022) 

Tarekat Harun (3) 

Tinggal seikat milik si Harun

Dibagi-bagi harta berlima

Pernah dulu begini sedih

Sebelum terang maklumat Tuan

Telah purna Tuan mencinta

Bersih di balik tutupan pandang 

Oh, besar dalam memberi Tuan

Harun yang buta tidak memandang

Girang Harun setengah mati 

Tersibak pelan kabut di badan

Datang dan pergi lumrah adanya

Tak lebih kurang dibanding kubur

Tinggal seikat milik si Harun

Dibagi-bagi orang berlima

Semua sama dalam bilangan

Hanya hikmahnya bertangga-tangga. 

(2022) 

Sarung 

Mabuk membuatku lupa segalanya

Seorang tetangga dekat telah 

mengundangku ke rumahnya 

40 hari sudah ibunya meninggal dunia 

Minta bantuan tahlil dan doa 

Beruntung tetanggaku itu bisa mengerti 

keadaanku. Ia sama sekali tidak melupakanku 

Ia kirimkan sepaket berkat ke rumah 

berisi makanan, air mineral, dan sarung 

dalam kemasan yang terpisah 

Masih dalam keadaan mabuk 

Aku lihat sarung itu dan ia seolah-olah berkata:

“Ingatlah hidup hanya sebentar. Banyak-banyak

berbuat kebaikan dan beribadah.” 

Daripada pusing memikirkan makna ucapannya 

Lebih baik aku urusi makanan dan minumannya. 

“Bismillah sebelum makan, bismillah,” kata istriku 

mengingatkan anak-anaknya. 

Dan secara tak langsung kepada diri hamba 

juga aku kira. 

(2022) 

Baca juga: Sajak-sajak Uhan Subhan 
Baca juga: Sajak-sajak Sihar Simatupang 
Baca juga: Tak Ada Sesuatu yang Baru di Bawah Matahari 

 

 

 

 


Didik Wahyudi, penyair, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 30 Juli 1978. Alumnus Universitas Negeri Surabaya. Puisi-puisinya telah dimuat di sejumlah media lokal dan nasional. Buku kumpulan puisinya berjudul Pelajaran Bertahan (2019). Kini, tinggal dan bergiat di Surabaya. (SK-1) 



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »