Rupa Jakarta


SUATU hari di bulan Ramadan lalu, saya kepengin siomai untuk menu berbuka puasa. Iseng-iseng sambil ngabuburit, selepas asar berangkatlah saya naik motor ke Stasiun Depok. Dari sana lalu nyambung KRL ke Stasiun Cikini, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki untuk membeli siomai yang legendaris dan sedap di kawasan Jakarta Pusat itu.

Sebelum magrib saya sudah tiba lagi di rumah. Jarak Depok-Cikini yang kurang lebih 40 km, saya tempuh kurang dari 30 menit dengan KRL. Lumayan cepat. Bayangkan jika naik motor atau mobil. Bisa-bisa selepas isya sampai di rumah. Belum lagi ditambah marah-marah dan menggerutu di jalan.

Bagi warga yang tinggal di kota penyangga, seperti Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, kehadiran transportasi publik seperti KRL, tentu sangat membantu mobilitas, terlebih mereka yang sehari-hari mencari nafkah di Ibu Kota. Selain lebih cepat, kondisi kereta saat ini juga relatif lebih nyaman jika dibandingkan dengan dua dekade lalu. Gerbongnya dingin dan bersih, tidak lagi gerah dan sumpek. Frekuensi kedatangan dan keberangkatannya pun relatif terukur, tidak seperti dulu yang seolah menunggu godot, entah kapan datangnya.

Transportasi publik ialah salah satu syarat untuk menata sebuah kota yang baik. Apalagi, jika ia dikelilingi sejumlah kota penyangga seperti Jakarta. Sarana transportasi tentu menjadi mutlak untuk menunjang mobilitas warga. Bagi yang telah lama bermukim di Jakarta, perubahan wajah kota ini tentu sangat terasa, terutama dalam satu dekade terakhir. Selain layanan transportasi publik semisal Trans-Jakarta, KRL, dan MRT yang semakin baik, fasilitas publik lainnya seperti ruang terbuka hijau dan trotoar pun terlihat resik.

Akselerasi pembangunan di sektor itu tentunya harus dilanjutkan dan diikuti sektor-sektor lainnya agar Jakarta, kota yang akan berusia 495 tahun pada Rabu (22/6), semakin melesat dan tidak tertinggal dari kota-kota lainnya di dunia. Terlepas apakah ia kelak masih berstatus sebagai ibu kota atau tidak, Jakarta kadung jadi sentra pertumbuhan dan modernitas. Ia magnet bagi warga dari kota-kota lainnya. Kalaupun ada yang memandang kota ini sebagai pusat dekadensi dan korupsi, itu hanya ulah segelintir penghuninya yang juga berasal dari mana-mana.

Birokrasi yang sehat dan kuat serta penerapan seperangkat aturan yang telah dibuat, tentunya mesti ditaati bersama. Segala bentuk pungli dan aksi premanisme harus dipandang seperti sampah yang dapat merusak wajah kota. Pembangunan sebuah kota bukan semata membenahi fasilitas fisik, melainkan juga mentalitas manusianya. Selama itu tidak dibenahi, Jakarta umumnya tetap akan dipandang sebagai hutan beton yang bengis dan kejam.

Kesan atau citra tentang kota yang dulu bernama Batavia itu, dialami maupun teralami, baik secara langsung oleh mereka yang sehari-hari bergulat di dalamnya ataupun yang terekam lewat berbagai sinetron, film, puisi, maupun lagu. Boleh jadi, kesan itu bakal berbeda dengan citra yang ditampilkan iklan pariwisata pemerintah. Namun, itu lumrah saja. Tergantung dari sudut mana mereka menilainya. Sebagai orang yang lahir dan besar di kota ini, saya pribadi sejauh ini tetap memandang Jakarta sebagai kota yang indah, berikut dengan segala kelebihan dan keberengsekannya. Mungkin itu lantaran saya sudah telanjur jatuh cinta dengan kota ini. Dirgahayu Jakarta!






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »