Pembelajaran Modern


DALAM dua tahun terakhir, dunia pendidikan mengalami disrupsi yang begitu hebat dan masif. Dengan begitu, penyelenggara pendidikan dengan segala keterbatasan yang dimiliki harus mengkaji dan merumuskan ulang rencana dan hasil kerja yang selama ini—sebelum pandemi—dipandang sudah baik. Meskipun dihadapkan pada sejumlah persoalan terkait dengan kesiapan dan kapasitas guru dalam menghadapi situasi berbeda, keterbatasan daya dukung teknologi pembelajaran, kurikulum, dan perangkat pembelajaran lainnya, siswa harus tetap dibimbing/belajar.

Akibatnya, pembelajaran ‘terpaksa’ dilaksanakan secara nonkonvensional dalam format daring dan luring (terbatas) dan dengan materi kurikulum yang sudah dipangkas karena sempitnya waktu yang tersedia dan kendala teknis lainnya. Dalam kondisi semacam itu tentunya sulit dihindarkan terjadinya berbagai penafsiran kurikulum yang digunakan; akibatnya, diskrepansi kualitas pembelajaran siswa pada setiap sekolah tampak nyata.

Hikmahnya, pandemi bukan hanya menyajikan potret suram pada hampir semua jenjang pendidikan; sebaliknya, kejadian itu ternyata juga berhasil mendorong banyak perubahan pada kalangan guru dan manajemen sekolah dalam mengelola pembelajaran. Pengelola pendidikan (manajemen dan guru) ‘dipaksa’ untuk berpikir lebih kreatif dan inovatif (dengan bantuan teknologi) mencari solusi yang tepat sehingga penyelenggaraan pendidikan dapat terus berlangsung sesuai dengan harapan.

Sekolah dengan sumber daya yang tersedia telah berhasil merumuskan ulang kurikulum yang digunakan dan mengkaji relevansinya dengan kebutuhan siswa kekinian dan karier pendidikan mereka ke depan. Pengetahuan dan keterampilan dalam kurikulum dikaji ulang, diseleksi, dan pembelajaran difokuskan hanya pada bagian paling esensial (dipandang dari segi konsep, gagasan, dan proses) dan bermakna sehingga dapat menunjang karier pendidikan siswa sesuai dengan kebutuhan abad ke-21.

Metode pembelajaran disajikan dengan sangat beragam dan menantang, seperti portofolio, proyek, dan dikerjakan secara kolaboratif. Sementara itu, penilaian yang diselenggarakan lebih diorientasikan pada penilaian kinerja dan bersifat formatif, yaitu bertujuan untuk perbaikan dan penyempurnaan pembelajaran siswa. Semangat perubahan itu dalam situasi apa pun hendaknya dapat terus dipelihara, dikembangkan, dan ditingkatkan kualitasnya.

 

Orientasi belajar siswa

Wendy Fischman dan Howard Gardner (2022) mengatakan banyak mahasiswa saat ini hanya tertarik belajar untuk mendapatkan gelar serta memperoleh keterampilan dan kontak/relasi yang dibutuhkan untuk mengejar karier dan kesuksesan. Pola belajar seperti itu disebut model pembelajaran transaksional. Ketika kita terlibat dalam suatu transaksi, kita sebenarnya terlibat dalam suatu kegiatan utamanya karena imbalan yang sudah diantisipasi, bukan karena nilai intrinsiknya.

Dari hasil studi yang berlangsung selama lima tahun, Fischman dan Gardner (2022) menemukan bahwa 45% siswa memiliki sikap transaksional tentang perguruan tinggi; 36% memiliki sikap eksploratif, yaitu mereka sengaja meluangkan waktu untuk mempelajari bidang dan aktivitas baru. Namun, hanya 16% yang memiliki model mental transformatif, yaitu yang mengarahkan mereka untuk merenungkan dan mempertanyakan keyakinan dan nilai mereka.

Padahal, perguruan tinggi, menurut Gardner (2022), telah memberikan peluang luar biasa untuk dijelajahi, perkuliahan/mata kuliah baru, cara berpikir baru, museum, dan laboratorium. Perguruan tinggi juga menawarkan siswa kesempatan untuk bertemu orang-orang jenis baru, termasuk sarjana, alumni, dan guru yang berdedikasi. Jika siswa menutup mata terhadap kemungkinan itu, tentunya itu tragis, dan siswa yang bersangkutan ataupun orang lain dalam hidup mereka mungkin kelak akan menyesal karena mereka telah menyia-menyiakan kesempatan berharga yang disediakan itu.

Pola belajar transaksional itu sepertinya juga banyak diikuti siswa jenjang pendidikan dasar dan menengah. Banyak siswa belajar hanya untuk kebutuhan ujian sehingga dapat memperoleh nilai rapor baik atau untuk mendapatkan pendidikan lanjutan di sekolah-sekolah yang lebih baik pascapendidikan dasar/menengah. Pola belajar transaksional itu semakin dikukuhkan keberadaannya melalui penilaian hasil belajar yang digunakan guru, yaitu berupa soal-soal pilihan ganda, yang umumnya hanya mengukur kemampuan belajar tingkat rendah. Akibatnya, pembelajaran menjadi kurang bermakna dan kehilangan relevansinya dengan keseharian siswa.

Goncangan yang terjadi dalam dunia pendidikan selama dua tahun terakhir mendorong pengelola pendidikan untuk mendefinisikan kembali sekolah. Meskipun ditengarai juga banyak pengelola pendidikan yang mulai tergoda kembali dengan pola lama, mereka berusaha untuk mengajar dengan lebih cepat guna ‘mengejar’ konten yang terlewat. Para ahli malah berpikir sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa tindakan terbaik saat ini ialah dengan memperlambat, tapi harus masuk lebih dalam guna memastikan bahwa siswa mempelajari ide dan keterampilan yang paling penting secara mendalam serta mampu menerapkannya dengan cara yang bermakna (Jay McTighe and Chris Gareis, 2022).

 

Pembelajaran mendalam

Apa yang dimaksud pembelajaran lebih mendalam? Dewan Riset Nasional Amerika Serikat mendefinisikan pembelajaran yang lebih dalam sebagai ‘proses di mana seorang individu menjadi mampu mengambil apa yang dipelajari dalam satu situasi dan menerapkannya pada situasi baru’. Pendidikan modern, menurut McTighe dan Gareis (2022), harus mempersiapkan siswa untuk dapat menerapkan pembelajaran mereka pada situasi baru, dengan kata lain untuk mampu mentransfer.

Grant Wiggins (2005) menyoroti bahwa transfer akan tampak ketika siswa memanfaatkan pembelajaran mereka dalam waktu, tempat, dan keadaan yang berbeda dari saat pembelajaran itu pertama kali diberikan. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa tahu bahwa siswa telah belajar mendalam? Pertanyaan ini, menurut McTighe dan Gareis (2022), merefleksikan ‘logika jika-maka: Jika kita percaya bahwa mempersiapkan siswa untuk mentransfer pembelajaran mereka ialah tujuan mendasar dari pendidikan modern, maka kita perlu mengumpulkan bukti yang diperlukan untuk menentukan sejauh mana siswa dapat menunjukkan pembelajaran yang lebih dalam melalui transfer’.

Desain pembelajaran disusun; pertama, dengan merumuskan tujuan (berupa profil perilaku/kemampuan/kompetensi yang diharapkan terjadi setelah proses pembelajaran) dengan jelas dan terukur. Selanjutnya, guru mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan sebagai basis/indikator untuk menyimpulkan bahwa tujuan sudah dicapai. Baru kemudian guru menentukan pilihan strategi/metode pembelajaran yang akan digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran itu.

Sementara itu, instrumen penilaian yang digunakan untuk mengetahui bahwa transfer pembelajaran terjadi, menurut McTighe dan Gareis (2022), yaitu melalui penilaian kinerja. Tugas yang dirancang dengan baik dapat menilai berbagai standar dan melintasi bidang studi, mendorong pemikiran yang kompleks, dan produk atau kinerja nyata yang memungkinkan siswa menerapkan pembelajaran mereka. Wallahualam bissawab.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »