SEORANG lelaki pergi ke pasar burung berniat membeli burung kakaktua. Tukang burung menunjukkan tiga ekor burung kakaktua yang berjejer di sangkarnya. “Burung yang paling kiri harganya tiga juta,” ucap si penjual.
“Walah, mahal amat, Bang!” sang lelaki kaget mendengar harga yang disebutkan.
“Iye dong, burung ini pinter banget, bukan cuman bisa ngomong, tapi juga ngarti komputer,” jawab tukang burung.
Lelaki itu menggelengkan kepala dan bertanya harga burung yang lain.
“Nyang itu, lebih mahal lagi, hargenye lima juta. Lebih pinter lagi, bisa macem-macem. Selaen pinter ngomong tujuh bahase, die juga maen sinetron dan ngarti sistem komputer,” kata tukang burung sambil acungin dua jempolnya.
Lelaki itu tambah menggelengkan kepalanya. “Nah, kalau yang satu lagi berapa duit?” sambil menunjuk ke arah burung kakaktua ketiga yang sedang terkantuk-kantuk kekenyangan merem-melek.
“Kalau nyang entu 10 juta aje, Dek!” jawab tukang burung.
“Walah! Mahalnya nauzubillah. Emang kelebihannye apa?” tanya si lelaki.
“Terus terang, Dek, saya enggak tau kelebihannye, tapi kakaktua yang lainnye panggil dia bos!”
Saya mengutip sebuah cerita ringan di atas dari sebuah milis. Cerita ringan seperti itu kerap kali muncul di tengah-tengah masyarakat saat mereka asyik bercengkerama di berbagai kesempatan di ruang publik. Tujuannya mungkin sekadar mengusir jenuh.
Berbagai cara memang banyak dilakukan orang untuk ‘membunuh’ rasa jenuh, lelah, atau stres setelah seharian mengemban tugas yang mungkin terasa membosankan. Maka itu, ketika ada waktu luang, mereka pun berkumpul atau setelah pulang kerja mereka bersama mengobrol ngalor-ngidul sekadar membuang penat. Secara tradisional, ruang-ruang seperti itu sudah ada, sudah menjadi kebiasaan.
Dalam masyarakat Betawi, misalnya, kegiatan membuang kejenuhan rutinitas dinamakan ngerahul. Ngerahul bahasa Betawi arkais berasal dari kata dasar rahul, artinya kongko ngalor-ngidul untuk membunuh jenuh sesudah berjibaku memeras otak dan tenaga secara rutin. Semula dilakukan di tempat-tempat mangkal yang terbuka, seperti poskamling, warung kopi, balai warga, dan lain sebagainya.
Di tempat inilah mereka menghilangkan kejenuhan. Setelah saling bercerita ringan, lucu, dan terkadang memaki keadaan, mereka pulang dengan rasa plong. Beban di pundak yang menggelayut seolah runtuh berhamburan tertinggal di poskamling atau warung kopi.
Tentu kumpulan lelaki poskamling atau warung kopi itu dapat dikatakan sebuah entitas, yaitu entitas kaum ngerahul. Maka itu, pertanyaannya, apakah selain ngerahul, entitas lelaki poskamling tersebut memiliki topik-topik pembahasan terkini terkait kondisi sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya dalam rangka merespons rumor negara yang bangkrut? Agaknya harus lebih ditelusuri musababnya lantaran kebutuhan lelaki poskamling sebatas santai belaka.
Jika demikian, ruang publik yang disebut poskamling dan warung kopi hanya bermakna secara harfiah, yaitu ruang publik biasa tempat bertemu yang tidak memiliki perspektif pendobrakan. Ia sama saja dengan taman terbuka hijau, aula masjid, terminal, ruang tunggu di bandara, lapangan bermain, dan sebagainya yang difungsikan secara sadar oleh pemerintah untuk keperluan warga yang membutuhkan ruang bersantai.
Ruang publik
Mari kita kaitkan dengan pemikiran seorang filsuf dan sosiolog Jerman, Jurgen Habermas, tentang ruang publik (public sphere). Habermas amat mendambakan terciptanya sebuah public sphere, tempat silaturrahim dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Semua warga masyarakat pada prinsipnya boleh memasuki dunia semacam itu.
Ruang publik atau public sphere itu merujuk pada seluruh realitas kehidupan sosial yang memungkinkan masyarakat bertukar pikiran, berdiskusi, serta membangun opini publik secara bersama. Ruang tersebut bukan sekadar tempat tatap muka, melainkan menjadi sarana yang memungkinkan publik dapat menyalurkan opini atau pendapatnya secara bebas tanpa tekanan dari mana pun, termasuk negara.
Habermas menegaskan bahwa ruang publik memberikan peran penting dalam proses demokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat untuk dengan lantang menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik harus bersifat otonom, tanpa intervensi dari pemerintah. Ruang publik merupakan sarana warga berkomunikasi, berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap terhadap problematika politik. Ruang publik bukan hanya sebagai institusi atau organisasi yang legal, melainkan juga ialah komunikasi antarwarga.
Konsistensi dan kontinuitas kongko ala masyarakat Betawi melahirkan apa yang disebut ngerahul. Dalam perjalanannya, ngerahul menjadi kebiasaan kongko masyarakat Betawi yang berproses sepanjang waktu. Akhirnya, ngerahul bukan saja menjadi media kongko melepas penat, melainkan juga merupakan wadah silaturahim yang tidak hanya berisikan mengobrol tanpa ujung pangkal, tetapi juga mengedepankan pencerahan pada segi pendidikan politik, kebudayaan, dan kemanusiaan yang multikultur. Ada yang menyadari bahwa ngerahul menjembatani kebaikan antarmanusia, kemesraan, dan cinta kasih agar nila-nilai humanis yang hakiki tidak diabaikan, apalagi ditinggalkan.
Habermas dengan konsep public sphere atau ruang publiknya menginginkan terciptanya ruang diskursif yang memungkinkan individu dan kelompoknya mendiskusikan masalah bersama untuk mencapai kesepakatan. Di dalamnya ada rasio dan rasionalitas yang menopang segala pendapat dan argumen. Rasio merupakan alat ampuh melawan adanya perbedaan kelas sosial dan ketimpangan dalam kehidupan bermasyarakat. Pentingnya rasio karena dalam diskusi yang rasional tidak melibatkan urusan-urusan pribadi, diskusi untuk kepentingan bersama.
Ngerahul, dalam pandangan saya, tumbuh dan menjadi kebiasaan masyarakat Betawi bermula dari kebutuhan pribadi tiap individu untuk berkumpul menghilangkan jenuh rutinitas. Pada gilirannya, kepentingan pribadi itu bermetamorfosis menjadi keinginan komunitas untuk lebih serius dan intensif merespons berbagai isu yang berkembang.
Kongko dimaknai lebih sebagai diskusi yang diperluas dan dibuka kepada siapa saja yang ada di ruang rahul. Sebagai ruang diskusi, hadirin tanpa memandang kelas dan gendernya bebas berpendapat serta berargumen atas topik yang dibicarakan. Di dalamnya tentu silaturrahim dan tatap muka menjadi pemandangan yang kental. Ngerahul bukan forum yang memutuskan sesuatu, melainkan forum untuk membuka wacana dan sudut pandang sehingga kita terus mendapat ilmu baru.
Ngerahul yang diadakan dalam arena terbuka dan dihadiri beragam tipe manusia serta dalam rentang waktu berbeda (harian, mingguan, dan seterusnya) tentu memiliki pegiat fanatik, biasa, dan ala kadarnya. Karena sifatnya yang amat longgar dan terbuka itu, ngerahul menjadi ruang publik cair dan tidak saling mengikat dalam kesepakatan.
Namun, masyarakat diasumsikan bisa menyerap hal-hal yang tak terpikir. Sepulang dari ngerahul, diharapkan mereka menjadi pendekar-pendekar di masyarakat, di tempat kerja, dan di lingkaran mana pun mereka terlibat. Sebagai feedback atas itu, ngerahul mempersilakan masyarakat untuk urun rembuk karena nanti akan ada formula atau pemikiran yang dapat dielaborasi.
Lalu, apakah ngerahul dapat dikatakan penciptaan public sphere sebagaimana digagas Habermas? Agaknya sangat diragukan. Ngerahul hanya sebatas kongko tanpa memiliki topik bahasan tententu sehingga sulit memiliki dampak lahirnya pemikiran positif. Bahwa ngerahul dapat meregangkan ketegangan saraf setelah seharian membanting tulang, itulah mungkin tujuannya. (M-4)
Tentang Penulis
Yahya Andi Saputra
Aktivis dan praktisi kesenian Betawi. Ketua Asosiasi Tradisi Lisan DKI Jakarta. Visiting Reseach Fellow, Research Institute for Humanity and Nature (RIHN), Kyoto, Jepang.
Menulis buku, antara lain: Sihir Sindir (kumpulan puisi, 2016), Antologi Puisi Matahari Cinta Samudera Kata (2016), Antologi Puisi Negeri Awan (2017), Jampe Sayur Asem (kumpulan puisi, 2017), dll.
Recent Comments