Menyelamatkan Indonesia dari Keterpurukan


PERNYATAAN Presiden Joko Widodo yang mengonfirmasi perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa dari 60 negara di dunia yang ekonominya akan ambruk, 42 di antaranya sudah menuju ambruk. Pernyataan ini sekaligus introspeksi agar Indonesia mulai berbenah untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang bisa berdampak buruk bagi negeri ini.

Pemicu ambruknya negara-negara tersebut bukan hanya oleh pandemi, melainkan juga masalah-masalah besar lainnya, seperti krisis pangan dan energi, sebagai dampak masalah rantai pasok dan konflik Rusia-Ukraina. Ditambah lagi, oleh krisis karakter yang bersemayam dalam diri pejabat publik. Krisis karakter yang jauh lebih berbahaya jika dibandingkan dengan krisis pangan dan energi.

Tulisan singkat ini ingin mendiskusikan konteks gejolak ekonomi global akibat perang Rusia-Ukraina, yang pengaruhnya terhadap kondisi makro dan sektor riil Indonesia. Penulis melihat peluang penyelesaian krisis, tidak hanya didekati melalui cara pandang ekonomi, tetapi juga lebih dari itu, perubahan karakter kepemimpinan pejabat publik akan menjadi solusi permanen bagi Indonesia yang maju.

 

Tekanan gejolak global

Inflasi, sebagai indikator makro ekonomi yang paling sensitif merespons gejolak global pun menunjukkan ancamannya. Tidak hanya negara-negara berkembang yang terdampak, negara-negara maju pun terancam inflasi tinggi. Di Amerika Serikat misalnya, kenaikan inflasi telah terjadi sejak wabah covid-19 pada 2020-2021, kini semakin meroket setelah perang Rusia-Ukraina pecah. Sepanjang 40 tahun terakhir, inflasi AS hanya pada kisaran rata-rata 2%. Namun, kini inflasi AS telah tembus hingga 9,1% dan merupakan yang terburuk.

Mahalnya harga barang-barang kebutuhan pokok tidak bisa dibendung. Pada saat yang sama, tingkat pengangguran terus meningkat sebagai dampak pandemi covid-19, yang memicu krisis global. Otoritas bank sentral AS, The Fed, telah berupaya untuk menahan laju inflasi dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,75% pada awal Juni 2022, dan berpotensi kembali menaikkan suku bunga acuannya.

Sudah bisa dipastikan, dampaknya akan merembet ke banyak negara, termasuk Indonesia. Meskipun Indonesia relatif aman jika dibandingkan dengan negara-negara yang disebut IMF, dalam jangka tertentu jika kewaspadaan tidak terjaga, nasibnya akan sama dengan negara-negara lain karena kita sama-sama sebagai negara terbuka secara ekonomi sehingga sama-sama saling tergantung dengan negara lain.

Krisis pangan dan energi akan menjadi awal pembuka masalah di dalam negeri. Kedua masalah ini, yang memicu instabilitas politik, ekonomi, dan sosial di negara-negara yang lebih awal ambruk. Tekanan terhadap masalah pangan dan energi, yang disebabkan terbatasnya pasokan di banyak negara sulit diatasi, selama masalah rantai pasok dan perang Rusia-Ukraina belum bisa selesai.

Kebijakan pengetatan moneter yang dilakukan AS menjadi pemicu lain yang memperdalam krisis ekonomi di banyak negara. Kenaikan suku bunga acuan sejak awal Juni, bahkan berpotensi pada Juli-Agustus ini akan memperlemah posisi negara-negara berkembang untuk mendapatkan alternatif pembiayaan dari masuknya modal investasi dari luar (capital inflow). Padahal, masuknya modal asing menjadi alternatif penting pembiayaan ekonomi di suatu negara selain utang luar negeri. Bagi Indonesia, dampaknya jelas dan besar: upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi makin tertekan.

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) sudah memperkirakan, bahkan telah memangkas proyeksi pertumbuhan Indonesia 2022 ini, yang hanya tumbuh 4,7% secara tahunan (yoy). Sebelumnya, proyeksi OECD sebesar 5,2% (yoy). Salah satu penyebabnya ialah tingkat inflasi dan konflik geopolitik Rusia-Ukraina, yang mendisrupsi suplai dunia.

Kestabilan rantai pasok akan menormalisasi stabilitas harga komoditas pangan dan energi. Saat ini kecenderungan perkembangan harga komoditas di pasar global terus naik. Kebijakan restriksi ekspor yang dikeluarkan negara-negara pemasok utama pangan seperti Rusia, Tiongkok, India, dan Ukraina misalnya, semakin memicu gejolak harga di pasar dunia.

Menurut data BPS (2022), harga beberapa komoditas utama mengalami kenaikan. Minyak kelapa sawit (CPO) meningkat dari US$1.136 mt menjadi US$1.716,9 mt, atau naik 51,08% (yoy). Demikian juga dengan harga kopi alami meningkat dari 29,39% menjadi US$2,3/kg. Harga gandum naik 75,71% menjadi US$522,3 mt. Demikian juga untuk harga kedelai dan daging, masing-masing mengalami peningkatan dari 11,95% menjadi US$724,1 mt dan 10,9% menjadi US$6,1/kg.

Beberapa negara pemasok pangan mulai berjaga-jaga, untuk mengamankan persediaan pangan di dalam negerinya melalui kebijakan restriksi ekspor. Setidaknya, sepanjang Mei 2022 beberapa negara melakukan kebijakan membatasi ekspor produk pangan untuk menjaga stabilitas pangan di dalam negerinya. Kebijakan ini umumnya ditempuh melalui kebijakan pelarangan ekspor, menaikkan pajak ekspor, dan pengetatan perizinan.

Rusia, salah satu yang paling ketat dalam membatasi ekspor produk-produk pangannya jika dibandingkan dengan Tiongkok, India, Ukraina, dan Indonesia sepanjang tahun ini. Ukraina misalnya hanya melakukan pengetatan izin ekspor untuk produk unggas, telur, minyak bunga matahari, dan daging sapi sejak 6 Maret-31 Desember 2022. Tiongkok melakukan pelarangan ekspor pupuk sejak 24 September 2021 hingga 31 Desember 2022. Sedangkan India, melakukan pelarangan ekspor khusus untuk komoditas gandum sejak 13 Mei-31 Desember 2022. Sementara itu, Indonesia hanya menerapkan pembatasan ekspor khusus untuk produk CPO dan turunannya 28 April 2022 hingga 23 Mei 2022.

Yang juga perlu diwaspadai ialah tren kenaikan harga bahan bakar yang terus terjadi. Energi termasuk sumber daya yang paling sensitif terhadap gejolak global. Keberadaan pasokannya harus terjaga. Di pasar global, sebagaimana data BPS, minyak mentah yang sebelumnya US$65 per barel, kini meningkat drastis menjadi US$109,6 per barel. Demikian juga batu bara dari US$99,3 mt menjadi US$280 mt.

 

Menekan dampak sosial

Sebagai negara besar, dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 277 juta jiwa, peringatan kewaspadaan presiden menjadi sangat penting. Kita mengakui Indonesia baru bisa melakukan recovery ekonomi pascatsunami pandemi. Tentu, fundamen ekonomi Indonesia belum 100% teruji. Namun, setidaknya jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia relatif aman.

Meskipun, masih ada beberapa indikator makroekonomi yang harus menjadi perhatian. Kita sepakat sisi moneter harus terus terjaga. Namun, dari sisi sektor riil harus mendapat perhatian lebih karena tekanannya berat: meningkatnya masalah pengangguran dan angka kemiskinan sebagai akumulasi stagnasi ekonomi pasca-covid-19. Menurut Kata Data (2022), angka pengangguran baru diperkirakan mencapai 2,92 juta hingga 5,23 juta. Jumlah penduduk miskin bertambah antara 1,16 juta hingga 3,78 juta.

Namun, upaya pemerintah untuk mengatasi masalah sosial ini juga perlu diapresiasi. Kebijakan pemerintah dalam melalui program Penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC PEN), yang ditujukan untuk mengurangi dampak krisis pascapandemi tergolong sukses. Kebijakan PC PEN itu memungkinkan pemerintah untuk memberikan bantuan sosial untuk rumah tangga miskin (RTM), pekerja, dan pengangguran.

Tidak hanya itu, program kartu Indonesia sehat (KIS), bantuan langsung tunai (BLT), BLT minyak goreng, kartu prakerja, Program Keluarga Harapan (PKH), dan lain sebagainya juga diluncurkan. Tercatat, alokasi dana pemerintah yang dialokasikan untuk program ini mencapai Rp455,62 triliun dan telah direalisasikan sebanyak 17,73% atau Rp80,79 triliun.

Kemampuan pemerintah mengelola masalah sosial dinilai memicu sentimen positif dari publik. Dari berbagai survei, kepercayaan publik mengalami peningkatan. Pada Desember 2021 misalnya, Survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan tingkat kepercayaan publik pada Presiden Jokowi mencapai 71%. Namun, angka tersebut meningkat tajam selama empat bulan terakhir.

 

Memicu optimisme baru

Tingginya kepercayaan publik terhadap pemerintah, di tengah-tengah kondisi ketidakpastian global menjadi kekuatan sekaligus modal untuk meraih masa depan. Sebagai warga bangsa, tentu kita perlu optimistis menatap ke depan, sebagaimana optimisme lembaga pemeringkat dunia sekelas McKinsey dan PriceWaterHouseCoopers (PWC) melihat Indonesia di masa depan.

McKinsey Global Institute (2012) misalnya, memprediksi Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ke-7 dunia pada 2030. Bahkan, PWC (2017) memperkirakan Indonesia menjadi negara dengan tingkat kemajuan ekonomi terbesar keempat dunia pada 2050. Tentu, dengan kredibilitas lembaga pemeringkat dunia sekelas McKinsey dan PWC Indonesia bisa bangkit, menyusun langkah-langkah prioritas menuju optimisme 2030 dan 2050.

Indonesia membutuhkan pemerintahan berkelas dunia, untuk bisa mencapai harapan dunia tersebut. Presiden Jokowi telah memulainya. Pada periode kabinetnya yang kedua (2019-2024), Presiden Jokowi telah menetapkan lima prioritas kerja pemerintah mengarah pada tahapan penting itu. Pertama, upaya mempercepat dan melanjutkan pembangunan infrastruktur, agar konektivitas antarkawasan industri kecil, kawasan ekonomi khusus, pariwisata, persawahan, perkebunan, dan perikanan terus dilakukan.

Kedua, pembangunan sumber daya manusia dengan menjamin kesehatan ibu hamil dan anak usia sekolah, peningkatan kualitas pendidikan dan manajemen talenta. Ketiga, mengundang investasi seluas-luasnya untuk membuka lapangan pekerjaan dengan memangkas hambatan investasi.

Keempat, melakukan reformasi birokrasi melalui percepatan pelayanan dan pemberian izin berusaha, menghapus pola pikir linier, monoton, dan terjebak di zona nyaman, dan terakhir kelima, mendorong APBN yang fokus dan tepat sasaran pada manfaat ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Hanya satu kendala yang perlu dibenahi: darurat karakter. Kita sadar, sehebat apa pun prioritas presiden jika karakter kepemimpinan di bawahnya tidak mendukung, berbagai prioritas itu tidak akan pernah bisa direalisasikan. Hambatan birokrasi pemerintah yang lambat, ego sektoral, serta mindset dan culture set yang tidak berubah akan menjadi pembeku harapan.

Jika kita lihat Laporan Global Competitiveness Index (2016-2017) yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF), menunjukkan daya saing kita masih kalah dengan negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Tiga problem utamanya, menurut WEF, masalah korupsi, inefisiensi birokrasi pemerintah, dan penyediaan infrastruktur yang tidak memadai sehingga menyulitkan rantai pasok atau sirkulasi barang dan jasa.

Indeks persepsi korupsi (CPI) kita turun pada 2020. CPI Indonesia hanya 37 dan masih tertinggal jauh oleh Timor Leste (40), Malaysia (51), Brunei Darussalam (60), apalagi Singapura dengan CPI mencapai 85. Ya inilah masalah yang membutuhkan pembenahan secara mendalam, masif, dan mendasar.

 

Karakter kepemimpinan pejabat publik

Upaya membangun kewaspadaan dini yang dilontarkan Presiden Jokowi ialah momentum untuk memperbaiki negeri dari semua aspek kehidupan. Kolaborasi, gotong royong, mementingkan urusan negara dari urusan pribadi perlu didudukkan sebagai nilai kejuangan, dan semangat membangun negeri. Tentu kita sepakat, Indonesia tidak boleh bangkrut seperti 60 negara yang terancam ambruk ekonominya.

Karena itu, menjadi penting peringatan dari majalah Fund for Peace and Foreign Policy, yang memublikasikan Laporan Indeks Negara Gagal (Failed States Index) 2013. Menurut saya, masih relevan dengan kondisi yang saat ini terjadi di negeri ini, sekaligus sebagai pengingat bagi kita sebagai warga bangsa yang mencintai negeri ini.

Laporan Failed States Index ialah sebuah laporan tahunan yang memeringkat stabilitas suatu negara berdasarkan 12 indikator sosial, ekonomi, dan politik. Secara ringkas, laporan ini terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia dan supremasi hukum, hingga kemiskinan, dan penurunan ekonomi.

Dalam laporan itu, Somalia menjadi negara yang berada di ranking teratas selama enam tahun berturut-turut, kemudian diikuti Republik Demokratik Kongo dan Sudan. Salah satu gejala yang paling mencolok ialah korupsi sistemik, praktik pejabat yang menyedot dana publik, atau membebankan tarif selangit untuk layanan publik seperti akses kesehatan dan pendidikan. Korupsi ialah tanda bahwa pejabat publik telah meninggalkan supremasi hukum, dan melanggar kewenangan, legitimasi, dan melemahkan kepercayaan publik sehingga mengganggu stabilitas sistem pemerintahan.

Menurut laporan itu, negara gagal dianggap telah “kehilangan kontrol fisik atas wilayahnya atau monopoli penggunaan kekuatan yang sah, erosi otoritas yang sah untuk membuat keputusan kolektif, ketidakmampuan untuk menyediakan layanan publik yang wajar, dan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan negara-negara lain sebagai anggota penuh masyarakat internasional.”

Dalam posisi seperti ini, legitimasi pemerintah turun hingga level terendah. Publik menganggap kepemimpinan mereka tidak memiliki legitimasi, dianggap tidak sah karena tidak dapat memberikan layanan penting kepada warga negara. Korupsi tumbuh subur, para elite atau pejabat pemerintah menguasai dana publik dan menahan manfaat dari publik, kecuali mereka menyuap agar warga dapat menerima manfaat. Kasus Sri Lanka menjadi pelajaran penting dan berharga dan tidak boleh terjadi di negeri makmur Indonesia tercinta.

Akuntabilitas dan integritas sebagai prinsip penting dalam administrasi publik tidak dijunjung tinggi dan dipatuhi pejabat publik dalam melayani kesejahteraan umum (Matsiliza dan Zonke, 2017). Pejabat, sebagai pelaku utama tujuan bernegara tidak mampu menjawab amanah publik untuk memajukan kesejahteraan umum. Cita ideal sebuah negara, tidak akan mungkin terwujud jika para pejabatnya tidak akuntabel dan berintegritas. Kita membutuhkan karakter kepemimpinan yang unggul dan bertanggung jawab, untuk menghadapi krisis yang mengancam Indonesia.

Angka-angka statistik yang menggambarkan Indonesia menuju krisis pangan dan energi ialah hanya soal angka. Masalah utamanya bukan di pangan dan energi. Masalahnya, terletak di proses pengambilan keputusan oleh pejabat publik yang syarat dengan kepentingan. Para pemimpin ialah para pengambil keputusan penting. Keunggulan, ketangguhan, dan tanggung jawabnya memiliki dampak besar bagi masyarakat luas. Karakter kepribadian, integritas, dan kejujurannya, lebih penting dari angka-angka naiknya komoditas pangan dan energi.

Luas dan suburnya Indonesia ialah modal paling berharga, yang perlu diselamatkan oleh keputusan-keputusan strategis para pimpinan yang berkarakter, berintegritas, jujur, dan bertanggung jawab. Dengan karakter kepemimpinan seperti inilah, Indonesia adil, makmur, dan sejahtera dapat dicapai. Wallahualam bisawab.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »