Krisis pangan yang terjadi di berbagai belahan dunia secara langsung memperburuk kehidupan manusia dan berdampak pada kesenjangan gender. Ketimpangan ini berkaitan erat dengan kerawanan pangan. Saat terjadi peningkatan ketimpangan gender maka kerawanan pangan juga meningkat.
Organisasi non-profit CARE Internasional meluncurkan studi laporan terbaru pada Kamis (4/8) yang menyebutkan bahwa dibanding tahun 2018, kini perempuan delapan kali lebih banyak mengalami kekurangan pangan jika dibandingkan laki-laki atau 150 juta lebih banyak.
Studi itu menyebutkan ketimpangan antara pria dan wanita delapan kali lebih besar jika dibandingkan tahun 2018. Ketika itu hanya ada 18 juta perempuan yang kesulitan akses pangan dibandingkan pria. Data baru ini menunjukkan adanya peningkatan hingga 840% dalam kesenjangan kelaparan berdasarkan gender.
“Wanita memiliki lebih sedikit makanan daripada pria di setiap wilayah di dunia.” tulis laporan tersebut pada akhir 2021.
Laporan itu didasarkan pada data yang ada dan kecenderungan global serta dibandingkan dengan data kesetaraan gender dan data keamanan pangan.
Direktur Eksekutif CARE Australia, Peter Walton prihatin dengan implikasi yang lebih besar dari tanda-tanda peringatan ini. Dia mengatakan situasi keamanan pangan yang memburuk ini disebabkan karena pandemi covid-19, perubahan iklim, dan perang di Ukraina.
Berbagai faktor seperti pandemi, perubahan cuaca, serta perang di Ukraina menjadi penyebab kekurangan pasokan makanan dan menyebabkan masalah pengiriman bahan makanan ke seluruh dunia sehingga mempengaruhi banyak orang.
Menurut Program Pangan Dunia, Rusia dan Ukraina menguasai 30% pasar ekspor gandum, dan 20% pasar ekspor tepung jagung.
Walton mengatakan masalah kerawanan pangan tersebut konsisten di seluruh dunia, termasuk di Australia, di mana perempuan lebih rentan mengalami kelaparan jika dibandingkan pria.
“Secara khusus, ini lebih mengkhawatirkan untuk perempuan orangtua tunggal dan perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Ini masalah global dan tentu saja Australia juga mengalami hal yang sama,” jelasnya
Tak hanya di Australia, di Asia tepatnya di Afghanistan juga terjadi bias gender dalam hal pangan. Perempuan bernama Deeba asal Afghanistan kini semakin sulit mencukupi kebutuhan keluarganya seiring dengan kenaikan harga pokok bahan makanan di seluruh dunia,
“Saya adalah kepala rumah tangga besar. Saya seorang guru. Kami hidup dengan gaji sekitar Rp640 ribu sampai Rp800 ribu sebulan namun kami hidup dengan masalah besar,” katanya kepada LSM Kemanusiaan CARE Internasional.
Menurutnya harga kebutuhan pokok makanan seperti tepung, beras dan minyak sudah naik hampir dua kali lipat sehingga semakin tidak terjangkau baginya.
Laporan yang berjudul “Keamanan Pangan dan Kesetaraan Gender” ini menemukan bahwa bahkan bila pria dan wanita ada dalam situasi kekurangan pangan, pria masih bisa mendapatkan porsi yang lebih kecil sementara perempuan tidak mendapatkan makanan sama sekali.
Sebagai contoh di Lebanon, 85% perempuan mengonsumsi porsi yang lebih kecil dibandingkan 57% pria pada awal pandemi covid-19.
Perempuan yang tidak memiliki penghasilan dan tidak mendapatkan bantuan dari laki-laki dalam urusan rumah tangga, lebih besar kemungkinannya mengalami kerawanan pangan dan mengalami kekurangan gizi.
Menurut laporan itu, negara dengan tingkat ketimpangan gender yang tinggi meliputi Yaman, Sierra Leone dan Chad. Mereka mengalami tingkat keamanan pangan dan gizi paling rendah di dunia.
Perempuan pekerja
Laporan menyebutkan perempuan yang bekerja atau memiliki penghasilan atau secara langsung terlibat dalam kegiatan ekonomi untuk mencukupi diri sendiri lebih sedikit mengalami kesenjangan dan kerawanan pangan.
Seorang petani dari Vanuatu mengatakan kepada CARE bahwa norma gender sudah berubah dalam komunitasnya. Dia bisa mendapatkan penghasilan dengan bercocok tanam untuk dijual ke pasar setempat.
Bule, demikian nama perempuan itu, mengatakan dalam komunitasnya pria yang biasanya menjadi kepala rumah tangga sekarang sudah berubah, dan ‘anak-anak, bapak dan ibu sekarang semua sama dan bisa bekerja’
“Tidak seorang pun lebih tinggi kedudukannya dibandingkan yang lain,” tegasnya.
Dia bekerja bersama dengan perempuan lain dengan berbagi ide mengenai bagaimana mempertahankan produksi makanan dalam situasi ancaman cuaca yang bisa menghancurkan produksi mereka.
“Ketika terjadi hujan lebat, air membanjiri tanah kami. Ini menyulitkan kami karena tanaman menjadi busuk dalam air dan kami tidak memiliki apa-apa untuk dimakan,” katanya.
“Menanam di daerah perbukitan adalah tempat terbaik karena air akan turun dari dataran tinggi ke kali ketika terjadi hujan lebat. Bercocok tanam di tanah yang datar sangat buruk. Ini seperti kita harus menyelam ketika memanen tanaman,” lanjutnya.
Laporan CARE menyebutkan di dalam rumah tangga yang perempuannya bekerja dapat menghilangkan masalah kerawanan hingga 11%. Perempuan yang bisa menambah penghasilan rumah tangga juga bisa meningkatkan kesehatan anak-anak dan mengurangi kekurangan gizi.
Peter Walton mengatakan pemerintah Australia sudah berkomitmen mengeluarkan dana Rp1,5 Triliun untuk memerangi krisis pangan dengan mendukung program dengan sasaran perempuan dan remaja putri. “Kita tidak seharusnya berbicara mengenai kelaparan di tahun 2022,” katanya.
Akan tetapi, di luar semua bantuan dan program pemerintah, faktor yang paling penting untuk dicapai dalam memerangi kesenjangan adalah menyediakan akses pendidikan bagi perempuan.(M-4)
Recent Comments