Empat Keliru terhadap IDI


BELAKANGAN ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mendapat sorotan, dituding super body dan terlampau berkuasa. Akibatnya, ada yang mengusulkan agar kewenangan IDI dibatasi. Ada pula yang mau bubarkan.

 

Empat kekeliruan

Setidaknya ada empat kekeliruan dalam memandang IDI. Pertama, dituding penyebab belum berpraktiknya 3.457 calon dokter berdasarkan data Panitia Nasional Uji Kompetensi Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter (UKMPPD) 2020. Kedua, menghambat praktik dokter warga negara Indonesia (WNI) lulusan luar negeri. Ketiga, melarang penggunaan metode pengobatan baru dan obat baru yang belum berbasis bukti. Keempat, dianggap kuasa keluarkan surat izin praktik dokter (SIP).

Belum berpraktiknya retaker calon dokter bukan karena itu, tetapi karena belum lulus, belum memperoleh sertifikat profesi (ijazah) dokter menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dan belum mengangkat sumpah. Jadi, masih menjadi tanggung jawab perguruan tinggi tempat mereka belajar.

Kondisinya sangat berbeda dengan 2.500 retaker sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Sebab, retaker ini sudah berstatus dokter. Hanya saja, ketika ikut Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) ternyata belum lulus. Karena jumlahnya cukup banyak, maka rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX DPR RI meminta IDI untuk menyelesaikan. Tentu jelas alasannya, sebab mereka telah berstatus dokter dan sudah menjadi anggota IDI.

Upaya penyelesaiannya tidak mudah. IDI harus mengeluarkan dana cukup besar dan menuai kritik dari pihak tertentu karena dianggap ingin meluluskan begitu saja. Dalam prosesnya, IDI mengumpulkan para retaker yang masih berminat berpraktik di beberapa regional. Membimbing mereka dengan bahan ajar yang sama, yakni Panduan Praktik Klinik bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer dan Panduan Keterampilan Klinis bagi Dokter di Fasilitas Kesehatan Primer. Soal UKDI pun dibuat terstandar, mengacu pada kedua bahan ajar tersebut. Semangat retaker dibangkitkan dengan mendatangkan psikolog dan psikiater untuk memotivasinya.

Dokter WNI lulusan luar negeri. Perlu diketahui, tidak semua fakultas kedokteran di luar negeri memiliki kesesuaian kurikulum dengan kebutuhan pelayanan di Indonesia. Bila kurikulum dan kompetensi lulusan sangat berbeda, tentu perlu ada proses penyetaraan melalui uji kompetensi dan adaptasi. Kompetensi dokter tidak hanya menyangkut kemahiran teori, tapi juga perlu mahir dan terampil menangani kasus.

Keterlibatan IDI, dalam hal ini kolegium, hanya membantu memastikan bahwa dokter tersebut telah kompeten menangani kasus penyakit di Indonesia. Mengapa kolegium? Sebab, kolegium yang merupakan satu kesatuan dengan perhimpunan adalah pengampu pendidikan dan pelatihan.

IDI juga dituding berkuasa menghambat penemuan baru bidang kedokteran. Pasalnya, karena melarang penggunaan metodologi pengobatan baru, atau obat baru dalam pelayanan bila belum berbasis bukti. Di lain sisi, ada sebagian orang yang karena kepentingan atau ketidaktahuan, mendesak IDI agar melonggarkannya. Sebagai organisasi profesi, tentu IDI akan memegang prinsip bahwa seorang dokter wajib menjunjung tinggi kepercayaan yang diterima dari pasien dengan memberikan pelayanan dan perawatan sebaik-baiknya. Melayani dan merawat dengan penuh tanggung jawab, dibarengi perilaku luhur.

Terkait dengan SIP dokter. Sejak lahirnya, IDI belum pernah diberi kewenangan menerbitkan SIP. Kewenangan tersebut selalu dipegang oleh pemerintah daerah. Bahkan setelah terbitnya Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, IDI cabang setempat hanya diberi wewenang untuk memberi rekomendasi ditujukan kepada dinas kesehatan.

Mengapa IDI cabang? Sebab IDI cabanglah yang lebih mengetahui kompetensi dan catatan perilaku anggotanya. Karena itu, IDI cabang diharap terlibat dalam mengawasi dan membina anggotanya.

 

Standar profesi

Sebagai profesi mulia, pekerjaan dokter membutuhkan body of knowledge sebagai dasar bagi perkembangan teori yang sistematis untuk menghadapi berbagai tantangan. Profesi dokter juga perlu standar profesi dan kode etik yang orientasi utamanya ialah memberi pelayanan kepada pasien. Kenapa demikian? Sebab, dokter selalu dituntut pertanggungjawaban dalam menjalankan pekerjaan profesinya. Itu sebabnya Wilensky (1964) menyebutnya bukan sembarang pekerjaan. Pekerjaannya dokter tidak dapat digantikan oleh yang bukan dokter.

Menurut WTO, standar profesi itu dibatasi oleh kisi-kisi yang merupakan kumpulan ukuran untuk digunakan sebagai pedoman atau norma-norma dalam profesi. Pada pokoknya terdiri dari, pertama, standar pendidikan. Kedua, etika profesi. Ketiga, standar kompetensi. Keempat, standar pelayanan. Adapun menurut Leenen, standar profesi adalah perbuatan teliti, saksama, yang dikaitkan dengan kelalaian (culpa). Bila bertindak tidak teliti, tidak berhati-hati, maka ia memenuhi unsur kelalaian. Dan, bila sangat tidak berhati-hati, ia memenuhi kelalaian berat (culpa lata).

Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan standar kompetensi adalah pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Lalu, Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan standar kompetensi adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang dibuat oleh organisasi profesi.

Keempat tudingan keliru di atas perlu mendapatkan klarifikasi secara proporsional dan santun. Misalnya, melalui peningkatan intensitas dialog dengan lingkungan eksternal dan internal tanpa kecuali. IDI perlu banyak silaturahim, dialog publik, gagasan segar, dan inovasi baru terkait pelayanan kesehatan dan pembangunan bangsa sebagai bagian dari gagasan IDI Reborn. Wallahu a’lam bishawab.






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »