
“Kita bepergian tidak untuk melarikan diri dari kehidupan, tetapi agar hidup tidak melarikan diri dari kita.”
SAAT dunia makin kompleks, cepat, dan menuntut, banyak orang merasa hidupnya sekadar rutinitas. Data dari WHO tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60% pekerja global mengalami burnout, dan Indonesia tidak luput dari gejala ini.
Dalam laporan State of the Global Workplace 2024 dari Gallup, Indonesia mencatat skor keterlibatan kerja yang tergolong rendah, di bawah rata-rata Asia Tenggara. Di tengah tekanan pekerjaan, sosial media, dan krisis eksistensial, traveling kini lebih dari sekadar aktivitas rekreas, traveling menjadi bentuk pemulihan.
Pepatah populer We travel not to escape life, but for life not to escape us menjadi refleksi mendalam, bahwa traveling, perjalanan, bukan pelarian. Ia adalah rekoneksi. Dalam budaya Jawa, dikenal ungkapan “urip iku urup”—hidup adalah nyala, cahaya yang memberi manfaat bagi sesama. Maka, setiap perjalanan yang sejati adalah upaya menjaga “nyala” itu agar tidak padam.
Saya berbagi tulisan ini dengan tujuan menyuguhkan pemikiran filosofis sekaligus solusi praktis dan data aktual bagi pelaku industri pariwisata, perhotelan, policymaker, serta masyarakat luas. Ia, mengajak kita memahami perjalanan sebagai kebutuhan dasar manusia modern, sekaligus peluang strategis bagi pembangunan pariwisata nasional yang lebih manusiawi.
Transformasi Pascapandemi
Pandemi COVID-19 mengubah paradigma perjalanan. Wisatawan, kini tidak lagi hanya mencari destinasi, tetapi “transformasi”. Dalam laporan 2023 oleh Booking.com, sebanyak 68% wisatawan global menyatakan ingin bepergian untuk menemukan ketenangan batin dan kesehatan mental. Di Indonesia, survei oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf, tahun 2023) menunjukkan tren serupa: wisata berbasis alam, budaya, dan kesehatan mengalami lonjakan minat.
Artinya, orientasi wisata telah bergeser: dari experience economy menuju meaning economy. Dari eksplorasi luar ke eksplorasi dalam. Dari konsumsi ke kontemplasi.
Dalam pitutur Jawa: Tepaseling rasa, tepaseling jiwa. Rasa harus terlatih. Jiwa harus dirawat. Maka “perjalanan” yang menyentuh rasa dan jiwa adalah jawaban atas krisis eksistensi zaman.
Studi Kasus:
Desa Wisata Nglanggeran di Gunungkidul, tidak hanya menawarkan pemandangan indah, juga narasi transformasi sosial-ekologis yang menyentuh hati.
Retreat spiritual di Bali pascapandemi mengalami peningkatan 30% pemesanan domestik menurut data PHRI Bali (2023).
Hospitality Beyond Service
Dalam industri perhotelan dan pariwisata, kita terlalu lama menjual “kenyamanan” fisik: tempat tidur empuk, kolam renang luas, menu eksotis. Era baru menuntut kita menjual “ketenangan batin, pengalaman otentik, dan sentuhan manusiawi”.
Filosofi Jawa Ajining diri saka lathi —harga diri seseorang terletak pada ucapannya—mengingatkan pentingnya “komunikasi bermakna” dalam hospitality. Bukan hanya kecepatan check-in, tetapi senyum tulus, mata yang menatap, dan bahasa hati yang mengerti.
Data Pendukung:
Menurut laporan Customer Experience Trends oleh Zendesk (2023), 70% pelanggan akan tetap loyal pada brand yang mampu membangun relasi emosional.
Survei Deloitte 2024 menyebutkan bahwa wisatawan milenial dan Gen Z lebih memilih akomodasi yang mendukung well-being, bukan sekadar harga murah.
Yang Praktis untuk Hotelier:
- Latih frontliner untuk menjadi emotional listener, bukan sekadar problem solver.
- Bangun narasi pengalaman, bukan diskon. Misal: “Di kamar ini, banyak orang telah menenangkan hati, bukan hanya beristirahat.”
- Terapkan konsep empat energi pelayanan: energi ruang, energi kata, energi niat, dan energi rasa.
Proses Kehidupan
Dalam bisnis pariwisata ada konsep journey mapping for self & customer
Konsep journey mapping selama ini digunakan dalam customer experience. Mengapa tidak digunakan untuk karyawan dan diri kita sendiri?
Sebab perjalanan bukan hanya fisik, tapi juga psikologis dan spiritual.
Model Self Journey Mapping:
Awal: Fase kelelahan dan kekosongan hidup
Tengah: Momen perjalanan, kontemplasi, dan keterhubungan
Akhir: Pulang sebagai pribadi yang lebih sadar dan bersyukur
Studi Tambahan:
Menurut McKinsey (2024), perusahaan yang mengintegrasikan kesejahteraan emosional dalam layanan pelanggan mengalami kenaikan kepuasan hingga 34%.
Peluang Transformasi Nasional
Indonesia adalah negara kepulauan dengan kekayaan geografis dan budaya luar biasa. Tetapi potensinya sering belum diolah dengan pendekatan makna.
Data Kunci:
World Travel & Tourism Council (WTTC) melaporkan bahwa sektor pariwisata menyumbang 5,2% dari PDB Indonesia pada 2023. Namun hanya 30% dari total wisatawan domestik yang merasa “terhubung secara emosional” dengan pengalamannya, menurut riset internal Kemenparekraf (2023).
Artinya, kita belum optimal menyentuh hati wisatawan.
Solusi Strategis Nasional:
Kembangkan paket wisata healing based tourism di setiap provinsi.
Kolaborasikan kementerian: pendidikan (untuk kurikulum wisata edukatif), kesehatan (untuk wisata sehat), dan sosial (untuk pemberdayaan lokal).
Gunakan filosofi lokal sebagai branding narrative, misal: “Nyegara Gunung” Jember sebagai Luxury Adventure to Reconnect with Nature.
Spirit Komunitas dan Pariwisata Berbasis Jiwa
Perjalanan tak selalu berarti meninggalkan rumah. Terkadang, ia adalah cara baru untuk memahami rumah. Dalam falsafah Jawa dikenal sangkan paraning dumadi —dari mana kita berasal dan ke mana kita akan kembali—. Maka setiap perjalanan seharusnya membawa pulang jiwa yang lebih utuh.
Inspirasi Implementatif:
- Hotel-hotel kecil bisa menggandeng seniman lokal untuk menghadirkan “ruang ekspresi jiwa” bagi tamu.
- Tour operator bisa memasukkan journaling session atau morning contemplation ke dalam itinerary.
- Kampung wisata bisa menyuguhkan bukan hanya atraksi budaya, tapi filosofi hidup yang diwariskan.
Contoh Nyata:
Java Lotus Hotel Jember menyisipkan nilai hospitality as healing dalam konsep No Plus-Plus, Just Pure Comfort, menyediakan menu lokal sehat comfort food (makanan rumahan), rooftop view untuk relaksasi, dan paket workation yang tetap menyentuh sisi spiritual tamu.
Langkah Kecil Penuh Makna
Hidup ini bukan hanya tentang “bekerja” dan mencapai “target”. Hidup ini adalah tentang “merasa”. Dan dalam dunia yang serba cepat ini, perjalanan —baik jauh mau pun dekat—adalah cara untuk kembali merasakan.
Maka, untuk para pemangku kebijakan, pelaku usaha, dan masyarakat dewasa: mari redefinisi pariwisata sebagai sarana memulihkan makna hidup. “Sebab jika hidup kehilangan makna, maka tak ada gunanya kita menjual destinasi”.
Kita butuh menjual harapan. Menjual perjumpaan. Menjual momen di mana seseorang berkata, “Akhirnya aku bisa bernapas lagi.”
“Jangan menunggu waktu luang untuk hidup. Luangkan waktu untuk hidup.”
Mari menghidupkan industri pariwisata bukan dengan promosi “kosong”, tetapi dengan pelayanan yang “bernyawa”. Karena kita tidak sedang menjual kamar, pemandangan, atau tiket. Kita sedang menjual “kehidupan” yang sempat tertunda.
Dan seperti yang dikatakan pepatah di awal:
We travel not to escape life, but for life not to escape us.
Jember, 30 Juni 2025
Jeffrey Wibisono V.
Praktisi Industri Hospitality dan Konsultan
Recent Comments