SAAT menilik sejarah dinamika runtuhnya kekuasaan Orde Lama dan bertakhtanya Orde Baru, kita akan melihat adanya pertarungan wacana ideologis yang mewarnai kemelut tersebut. Salah satu penggalan peristiwa dramatis dalam politik dan kekuasaan kontemporer Indonesia pada 1966-1969 itu ialah gerakan pembaruan kehidupan politik yang mengerucut sebagai usaha perombakan struktur politik. Di situlah perbincangan tentang Letnan Jenderal (Letjen) TNI (Purn) Hartono Rekso (HR) Dharsono, yang akrab disapa Pak Ton, akan mengemuka.
HR Dharsono ialah pejuang dalam perang kemerdekaan, dan menjadi panglima divisi fenomenal Siliwangi pada kurun 1966-1969. Alih-alih dikenal sebagai jenderal yang dengan tegas, idealis, dan kaya gagasan berusaha mengukuhkan kekuasaan rezim Orde Lama dan Orde Baru yang semena-mena dan menodai demokrasi, Pak Ton justru akrab dengan kaum pergerakan, baik kalangan intelektual maupun mahasiswa. Hal itu termuat dengan baik dalam buku terbaru Rum Aly bertajuk Kisah Seorang Jenderal Idealis HR Dharsono yang diluncurkan di Jakarta, Sabtu (19/2).
“Buku ini menarasikan beberapa penggalan penting sejarah politik dan kekuasaan Indonesia kontemporer yang menempatkan HR Dharsono sebagai fokus karena perannya pada masa-masa tersebut, ” ujar Rum Aly dalam kesempatan itu.
Lewat berbagai tulisan dalam buku itu, kita dapat menyelisik lebih jauh sosok HR Dharsono beserta kisah-kisahnya yang fenomenal, juga rekam jejak intelektual sekaligus tawaran pembaruan militer serta kehidupan sosial-politik melalui gagasan yang digelorakannya.
Buku itu dibuka dengan pengenalan sosok dan peran HR Dharsono pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1950. Selanjutnya, ada pembahasan singkat terkait dengan beragam sejarah penting pada masa itu seperti pemberontakan kelompok kiri, Partai Komunis Indonesia, yang ditandai peristiwa berdarah Madiun, hingga pemberontakan kelompok kanan seperti PRRI/Permesta di berbagai daerah. HR Dharsono yang merupakan seorang pejuang dalam perang kemerdekaan dan bagian dari tubuh militer digambarkan mampu menjalankan berbagai tugasnya.
Di bawah tajuk Wajah Revolusi Kemerdekaan: Momen yang Tercatat dan yang tak Tercatat, dihadirkan pula episode penting dalam sejarah kekuasaan Orde Lama, salah satunya ialah proses pengakhiran kekuasaan Sukarno setelah terjadinya Peristiwa G-30-S/PKI. Lewat peristiwa krusial tersebut, Rum Aly memaparkan secara naratif kontribusi awal seorang HR Dharsono terhadap penumbangan pemerintahan Orde Lama dan awal pembentukan Orde Baru.
“Sesungguhnya konsep Orde Baru muncul sebagai alternatif yang menjanjikan, dan dipercaya akan memulihkan kehidupan politik dan sektor kehidupan bernegara lainnya yang porak-poranda di lima tahun terakhir masa Nasakom. Sepanjang catatan yang ada, penggunaan istilah Orde Baru sekaligus sebagai istilah kontra terhadap Orde Lama,” ujar HR Dharsono (hlm 185).
Dalam konteks pembaruan politik seusai era Nasakom, sang jenderal dan kalangan pergerakan mahasiswa menggagas perombakan struktur politik dan kepartaian melalui konsep dwigrup yang mengerucut sebagai dwipartai sebagai gagasan tentang masa depan kehidupan politik nasional yang merupakan salah satu fondasi kehidupan bernegara.
Sayang, gagasan-gagasannya tentang pembaruan politik Indonesia justru kandas di kaki sebagian rekan militernya yang telah menjelma sebagai penguasa pragmatis, bersama kalangan penguasa politik kepartaian. Itu tak lain disebabkan mereka semua sama-sama ingin mempertahankan status quo demi kepentingan kekuasaan masing-masing pascatumbangnya pemerintahan Sukarno.
Dari gagasan-gagasan yang dilontarkannya terlihat bahwa ia seorang yang mempunyai ide-ide demokratis dan sama sekali jauh dari aroma militeristis. HR Dharsono mempunyai kepribadian dan integritas serta keberanian bersikap dan bertindak yang diterima banyak pihak, mulai akar rumput hingga kaum intelektual.
‘HR Dharsono bukanlah seorang militer ambisius, ia hanya seorang prajurit dengan kecerdasan intelektual di atas rata-rata dengan kematangan emosional yang lebih manusiawi sebagai prajurit pejuang. la memiliki pemikiran yang lebih independen sehingga ia bisa membuat jarak dengan persoalan yang dihadapinya’ (hlm 190).
Ia yang kala itu menjadi Panglima Siliwangi merupakan penopang utama kekuatan Jenderal Soeharto. Namun, seiring dengan berubahnya pola pemerintah Soeharto ke arah represif, otoriter, dan diktator, sosok HR Dharsono kerap melayangkan kritik bersama kalangan pergerakan mahasiswa 1966 hingga dirinya berubah menjadi salah satu musuh bagi pemerintahan Orde Baru.
Ia mengakui tak semua tentara perjuangan kemerdekaan berhasil lulus saat menghadapi dinamika kekuasaan. Tak sedikit yang khilaf tergelincir meninggalkan integritas mereka saat berada dalam kekuasaan dan hanyut terlarut di dalam arus kepentingan kekuasaan itu sendiri.
“Terbukti dalam sejarah perjalanan hidup saya, bahwa sebagai prajurit, saya merasa kesadaran berjuang saya tidak pernah surut atau larut karena iming-iming. Sejarah perjuangan bangsa telah membuktikan bahwa yang pertama-tama lahir adalah peranan pemuda sebagai pejuang, sedangkan peranan pemuda sebagai prajurit barulah menyusul kemudian (hlm 346).”
Jenderal HR Dharsono menjadi salah satu di antara sedikit perwira yang bisa ‘lulus’ sampai akhir, tak meninggalkan integritas dan idealisme awal saat merebut dan mempertahankan kemerdekaan hingga mengawal pemerintahan Orde Baru yang dibentuknya bersama Soeharto. Namun, nahas, sikap HR Dharsono yang kritis terhadap ketidakbenaran dalam praktik kekuasaan justru diberi akhir tragis. Dia dipenjarakan sejumlah orang di lingkaran kekuasaan Soeharto.
Pada bab terakhir, pembaca akan disuguhi berbagai dokumentasi potret kolase foto HR Dharsono mulai awal karier di militer hingga tahun-tahun terakhir dirinya saat mendekam dalam tahanan lantaran kerap mengkritik penyimpangan rekan-rekan militernya terhadap dwifungsi ABRI yang sebenarnya ialah sebuah konsep ideal untuk membantu tegaknya pemerintahan sipil yang kuat.
Ia juga tak segan mengkritisi disimpangkannya konsep Orde Baru dari sebuah sistem yang ideal menjadi praktik kekuasaan yang dijalankan secara buruk. Ia juga mengkritik berbagai praktik korupsi dan kolusi dalam tubuh kekuasaan serta meningkatnya sikap represif penguasa militer seperti pada Peristiwa Tanjung Priok September 1984.
Buku ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mungkin bisa menjadi salah satu bahan refleksi akan dinamika bangsa kita, refleksi dari suatu proses yang tidak akan berkesudahan.
Pembaca juga dapat memetik pelajaran dari pengalaman hidup HR Dharsono, utamanya tentang nilai patriotisme dan integritas yang didasarkan kepada semangat memajukan bangsa Indonesia. (Dev/M-2)
Judul: Kisah Seorang Jenderal Idealis HR Dharsono
Penerbit: Buku Kompas
Penulis: Rum Aly
Tebal: 422 halaman
Tahun: 2023
Recent Comments