TEMPO.CO, Jakarta – Perdana Menteri (PM) Inggris Liz Truss mundur dari jabatannya setelah merasa tidak mampu memperbaiki kondisi perekonomian di negara tersebut. Krisis ekonomi di Inggris tak kunjung reda setelah diterjang inflasi tinggi berkepanjangan.
“Kondisi ekonomi inggris memang cukup memburuk di era PM Liz,” ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira saat dihubungi, Sabtu, 22 Oktober 2022.
Ekonom yang meraih gelar Master in Finance dari Universitas Bradford itu pun memaparkan sejumlah indikator pelemahan ekonomi Inggris pada masa kepemimpinan Liz. Di antaranya, pasar saham Inggris, FTSE anjlok hingga 7,4 persen sejak awal 2022.
Kemudian, tukar poundsterling terhadap dolar Amerika turun hingga 16,7 persen pada periode yang sama. Tekanan inflasi pun telah menyentuh level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, yakni mencapai 10,1 persen pada September 2022.
“Liz gagal mengatasi inflasi yang menjadi musuh utama ekonomi disaat terjadinya krisis energi,” ujar Bhima.
Baca juga: Mengukur Peluang Boris Johnson Kembali Jadi Perdana Menteri Inggris
Kebijakan yang dibidani Liz untuk menghadapi krisis, kata Bhima, tidak disambut baik oleh para pelaku pasar. Bhima mencontohkan kebijakan pemangkasan pajak orang kaya yang justru memunculkan panik di pasar keuangan sehingga poundsterling terus anjlok.
“Padahal Liz adalah perwakilan partai konservatif yang pro pasar,” ujar Bhima.
Di tengah karut marut kondisi ekonomi Inggris, Bhima menganggap efek rembetannya terhadap Indonesia minim. Sebab, hubungan perdagangan Indonesia dengan Inggris tidak telalu besar, tercermin dari total perdagangan kedua negara pada 2021 yang hanya US$ 2,56 miliar berdasarkan data Kementerian Perdagangan.
Beda halnya dengan negara lain, seperti Amerika Serikat Bhima mengatakan nilai perdagangan Indonesia dengan Amerika tahun lalu menembus US$ 37,04 miliar. Meski demikian, efek kondisi di Inggris akan tetap dirasakan oleh Indonesia.
“Efek pergantian PM Inggris sebenarnya dampak langsung ke neraca dagang relatif kecil, tapi efek psikologisnya terasa sampai Indonesia,” kata Bhima.
Menurut Bhima, dampak psikologis kondisi Inggris ini akan lebih dirasakan Indonesia dari sisi pasar keuangan. Musababnya, investor asing melihat kondisi Inggris sebagai cerminan situasi negara maju dan berkembang sama-sama berisiko.
“Pengalihan aset ke dolar AS sebagai safe haven masih akan berlanjut dan ini bakal melemahkan rupiah dalam jangka panjang,” kata Bhima.
Baca juga: Hanya 44 Hari Sebagai PM Inggris, Liz Truss Berhak Atas Tunjangan Rp2 Miliar Per Tahun
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.
Recent Comments