Pengaburan Akar Budaya di Balik Genosida


PEMBAHASAN untuk mengungkap fakta-fakta di balik Tragedi 1965 masih menjadi hal yang terus dilakukan berbagai pihak hingga saat ini. Sudah lebih dari 50 tahun berlalu, tak sedikit pertanyaan yang bisa terjawab dan fakta yang bisa terungkap, khususnya soal nasib ratusan ribu orang yang dihilangkan secara paksa di era tersebut.

Era tersebut memang menjadi salah satu lembar terkelam dalam sejarah Indonesia. Berbagai kebijakan dan tindakan dilakukan penguasa demi menguasai banyak aspek yang ada di dalam negeri. Tentu saja tak hanya untuk memudahkan praktik kekuasaan di dalam negeri, tetapi juga dalam hal diplomasi di kancah global.

Meski tak banyak yang menyoroti atau bahkan menyadari, kesenian dan kebudayaan merupakan salah satu hal yang tak luput dari kesewenangan pemerintahan Orde Baru. Untuk mencapai tujuannya menciptakan citra negara dengan kesenian dan budaya yang dianggap ideal oleh segelintir orang di tubuh Orde Baru, rekonstruksi budaya besar-besaran ikut dilakukan.

Rekonstruksi budaya yang dilakukan pemerintahan Orde Baru pasca-1965 merupakan premis utama yang dibahas Rachmi Diyah Larasati dalam bukunya, Menari di Atas Kuburan Massal: Rekonstruksi Budaya Indonesia Pasca Genosida. 

Buku yang diterbitkan Insist Press itu merupakan terjemahan dari versi asli berbahasa Inggris dengan judul The Dance that Makes You Vanish: Cultural Reconstruction in Post-Genocide Indonesia. Buku versi bahasa Inggris diterbitkan University of Minesssota Press pada 2013.

Sebagai seorang profesor kajian transnasionalisme, seni, dan gender, sekaligus seorang penari tradisional, penulis memaparkan pikiran kritisnya atas berbagai perubahan di bidang kesenian dan budaya pada era Orde Baru. Sebagian besar pemaparannya ia buat berdasarkan pengalaman dan perjalanan hidupnya yang sempat merasakan menjadi penari nasional yang juga pegawai negeri sipil.

Meski membahas secara luas tentang rekonstruksi budaya pasca-1965, secara lebih spesifik penulis membahas tentang keterlibatan antara perempuan penari dan Indonesia sejak 1965. Menggambarkan kekejaman rezim Orde Baru yang sebelumnya tak ia sadari ternyata begitu dekat dan berpengaruh dalam kehidupannya sejak kecil hingga sukses menjadi seorang penari ketika dewasa.

Lewat berbagai informasi dan fakta yang ia himpun, baik dari perjalanan hidupnya maupun berbagai kajian pustaka dan data pelengkap lainnya, penulis memberikan gambaran nyata akan strategi ganda rezim tersebut dalam upaya merekonstruksi budaya, termasuk mempersekusi dan melenyapkan para penari yang dituduh komunis atau beraliran kiri.

Bersamaan dengan itu, pihak penguasa dengan masif mengerahkan dan menciptakan bentuk kesenian dan tarian baru yang dianggapnya sebagai wajah ideal dari keanggunan dan kedamaian budaya Indonesia. Tentu saja keanggunan dan kedamaian yang sesuai dengan tujuan penciptaan negara otoriter.

“Dalam buku ini saya mencatat agenda Orde Baru dalam memapankan bentuk-bentuk kesenian tersebut sebagai tradisi kebudayaan nasional. Demi membentuk elemen penting identitas nasional Indonesia yang dirumuskan ulang dan kemudian dilembagakan di bawah Soeharto, praktik-praktik kesenian tersebut kemudian dipromosikan secara dahsyat oleh pemerintah di kancah dalam negeri dan Internasional,” halaman 22.

 

Trauma

Penulis memaparkan temuan dan pikiran kritisnya tentang rekonstruksi budaya tersebut lewat lima bab yang terdapat dalam buku ini. Setiap bab berisi rangkaian fakta hingga tinjauan yang memperkuat keyakinan akan adanya upaya rekonstruksi budaya lewat berbagai aksi tak berkemanusiaan yang pernah terjadi di Indonesia.

Bagian awal buku dibuka penulis dengan menceritakan kisah hidupnya sejak masa anak-anak. Ia merupakan seorang anak yang berasal dari keluarga penari di Jawa Timur. Tak sedikit keluarga dan tetangganya yang kala itu juga berprofesi sebagai penari atau pelaku kesenian lain hilang secara mendadak sepanjang 1965.

Para kerabatnya yang hilang kebanyakan ialah kaum wanita yang dituduh sebagai anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Kehilangan akan sosok-sosok tersebut menyisakan trauma dan tanda tanya yang kemudian menuntunnya untuk mulai melakukan penelusuran untuk menuntaskan buku ini.

“Di kehidupan rumah kami, anggota Gerwani itu adalah sosok perempuan keibuan, yang dijadikan monster. Bagiku, ‘perempuan Gerwani’ itu adalah bibiku, guru tariku, tetanggaku, dan orang tua teman-temanku,” halaman 3.

Penulis juga sempat menjalankan berbagai misi budaya sebagai seorang penari resmi nasional. Ia menjalankan perannya sebagai penari sesuai dengan cara yang diharapkan rezim Orde Baru untuk memanfaatkannya sebagai bagian dari diplomasi. Perannya sebagai penari nasional itu juga yang akhirnya mengantar penulis pada temuan lebih jauh akan pengaburan fakta tragedi 1965 yang menimpa para wanita di masa kecilnya.

Pada bab kedua, penulis memaparkan temuannya tentang upaya merombak identitas kultural kelompok-kelompok tertentu. Dalam hal ini mayoritas ialah kelompok-kelompok beranggotakan perempuan yang aktif berkesenian hingga berkegiatan politik.

Perombakan identitas itu dilakukan lewat berbagai cara yang secara umum memiliki benang merah untuk mengubah pandangan masyarakat pada kelompok-kelompok perempuan aktif dan modern tersebut. Salah satu yang paling populer ialah dengan mewajibkan pemutaran film-film dengan cerita tentang perilaku buruk perempuan yang disebut sebagai Gerwani.

“Dengan mengaitkan aktivitas kultural mereka seperti menari dan bernyanyi dengan sikap barbar atau kasar dan merendahkan norma atas bagaimana selayaknya perempuan warga negara Indonesia harus bersikap. Rekonstruksi identitas ini diterapkan terhadap perempuan yang terlibat dalam organisasi dan kegiatan yang pada 1965 tiba-tiba dianggap haram,” halaman 63.

Pada bab ketiga, penulis menuliskan tentang beberapa jenis tari yang sempat mengalami rekonstruksi oleh pemerintah Orde Baru. Salah satunya ialah tari Jejer dari Jawa Timur yang sempat ‘dihilangkan’ karena dianggap tak mencerminkan budaya dan citra Indonesia sesuai yang diinginkan pemerintah saat itu.

Seiring waktu, tarian itu kembali hadir di berbagai kegiatan dan dibawakan para penari nasional. Jejer ditampilkan dengan citra baru dan berbagai penyesuaian yang diinginkan pemerintah. Sayangnya, tanpa mengindahkan pakem-pakem yang telah ada tentang berbagai unsur di tarian tersebut.

“Namun, beberapa kelompok tari di Jawa Timur, secara diam-diam, terlibat perlawanan sunyi dan tak resmi terhadap palarangan itu, dan secara rahasia melanjutkan praktik musik Jejer dan gandrung mereka. Praktik tari rakyat yang terus berlangsung ini, seperti kegiatan rahasia di dalam rumah dan di halaman rumah secara tertutup oleh para penari yang terlibat,” halaman 122.

 

Perlawanan

Di bab keempat penulis memaparkan temuannya tentang bagaimana para penari nasional dengan berbagai tarian yang telah direkonstruksi pemerintah digunakan sebagai pendukung langkah-langkah diplomatik. Salah satunya antara Indonesia dan Kamboja, yakni saat itu penulis ikut terlibat sebagai penari nasional sehingga bisa melakukan pengamatan secara langsung di lapangan.

Bab terakhir berisi pandangan kritis penulis tentang kompleksitas yang ada dalam dunia seni di era awal Orde Baru. Itu di antaranya bagaimana para seniman independen harus berjuang untuk bisa terus berkarya, upaya-upaya perlawanan, hingga dampak upaya-upaya rekonstruksi dalam kesenian itu pada kehidupan masyarakat Indonesia di jangka panjang.

Lewat berbagai paparan dan penelitian yang dilakukan penulis dalam buku ini, dapat disimpulkan bahwa banyak hal mungkin telah hilang atau dihilangkan dari seni tari di Indonesia. Tari memiliki posisi penting dan tak boleh dilewatkan jika melakukan tapak tilas atau studi tentang sosial dan politik Indonesia sejak era kolonial.

Buku itu juga membuka pengetahuan baru tentang bagaimana setiap kesenian yang berkembang di Indonesia tak pernah lepas dari pengaruh penguasa. Begitu juga tentang bagaimana seni selalu jadi salah satu cara favorit yang dipilih untuk melakukan perlawanan tanpa senjata.

_________________________________________________________________________________

 

Judul: Menari di Atas Kuburan Massal: Rekonstruksi Budaya Indonesia Pasca Genosida

Penulis: Rachmi Diyah Larasati

Penerbit: Insist Press

Tahun: Cetakan pertama Mei 2022

ISBN: 978-623-6179-12-3

 






Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Translate »