TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memberikan catatan serius terhadap angka inflasi di Indonesia yang terus naik beberapa bulan terakhir. Kondisi ini diperkirakan bakal berdampak langsung terhadap warga miskin.
“Dengan konsekuensi pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi tinggi, ini akan menimbulkan ketidakpastian, terutama bagi penduduk miskin,” kata Tauhid saat konferensi pers virtual, Ahad, 7 Agustus 2022.
Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya merilis, indeks harga konsumen pada Juli 2022 mengalami inflasi sebesar 4,94 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Angka ini lebih tinggi dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 4,35 persen yoy.
Tauhid melanjutkan, inflasi Juli 2022 yang naik tersebut diikuti oleh tumbuhnya angka inflasi inti menjadi 2,86 persen dari bulan sebelumnya 2,63 persen secara tahunan. Di sisi lain, inflasi barang-barang bergejolak masih tinggi di level 10,07 persen.
“Ini kenaikan di angka bawang, cabai merah kriting, telur, dan daging ayam sampai akhir tahun akan menjadi satu problem yang cukup serius karena disebabkan cuaca dan iklim,” ujar Tauhid.
Kondisi tersebut ditengarai bakal menambah ketidakpastian ekonomi kelompok masyarakat miskin, termasuk mereka yang bekerja di sektor perdagangan, pertanian, dan industri. Sebab, pertumbuhan ekonomi di sektor lapangan usaha itu selau lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada kuartal II 2022 misalnya, saat pertumbuhan ekonomi di posisi 5,44 persen secara tahunan, pertumbuhan lapangan usaha perdagangan hanya 4,42 persen. Kemudian pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan 1,37 persen; sedangkan industri pengolahan hanya 4,01 persen.
“Dan penduduk miskin sangat tergantung selain dari komoditas pangan seperti beras, cabai merah, dan sebagainya, juga terkerek kenaikannya oleh kenaikan harga rokok kretek, sewa dan kontrak rumah, bensin, tarif uang sekolah, dan LPG 3 kilogram,” kata Tauhid.
Dampak terhadap ekonomi masyarakat miskin ini, kata dia, juga akan semakin memburuk ketika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak lagi mampu mengimbangi gap harga bahan bakar minyak (BBM) yang terus melebar. Apalagi tahun ini pemerintah menggelontorkan lebih dari Rp 500 triliun untuk subsidi BBM.
“Namun memang tampaknya anggaran pemerintah tidak mungkin bisa mensubsidi begitu besar ya dan ini berimplikasi sampai akhir tahun inflasi tinggi akan menjadi momok yang cukup berat bagi ekonomi kita,” ujar Tauhid.
Di samping itu, di tengah kondisi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2022 yang masih ditopang oleh konsumsi masyarakat, Tauhid mengatakan pengeluaran konsumsi pemerintah justru terkontraksi. Belanja konsumsi pemerintah tercatat turun drastis hingga minus 5,24 persen pada kuartal II 2022.
“Artinya bahwa pemerintah tidak cukup cermat mengamati dan kurang serius untuk mendorng peran angaran negara dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan ini sangat disedihkan dan seolah-olah bahwa ekonomi kita bekerja sendiri tanpa peran pemerintah yang cukup signifikan,” ujar Tauhid.
Baca juga: Bocoran 10 Investor Korea Selatan yang Minat Benamkan Investasi di RI, Apa Saja?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.
Recent Comments