SEKITAR tiga dekade pembelajaran seni rupa di sekolah umum Indonesia tertinggal dari negara maju. Pembelajaran seni rupa di sekolah masih berpusar pada praksis seni rupa modern. Kenyataan ini tecermin antara lain dari silabus pelajaran seni budaya. Seluruh materi pokoknya berisi pengetahuan dan keterampilan seni rupa modern, yang meliputi antara lain seni lukis, seni patung, seni grafis.
Pendidik dalam merencanakan pembelajaran harus mengacu pada silabus, sehingga disinyalir pengetahuan dan pengalamannya juga terpaku pada seni rupa modern. Padahal sejak awal 1970an dunia telah mengalami perubahan paradigma atau cara pandang (zeitgeist). Paradigma sebelumnya disebut modern, dengan karakteristik utama universalitas dan objektivitas. Paradigma yang dianut hampir seluruh cabang ilmu ini, termasuk seni rupa, bergeser menjadi postmodern atau kontemporer dengan karakteristik umum kebalikan dari modernisme.
Kemunculan seni rupa kontemporer diiringi lahirnya disiplin ilmu baru yang disebut budaya visual (visual culture). Bidang studi ini berisi kajian konstruksi budaya dari wujud visual dalam kesenian, media, dan produk konsumsi dalam kehidupan sehari-hari (Margaret Dikovitskaya, Visual Culture, The Study of Visual Culture After Cultural Turn. MITT Press, Cambridge 2006). Berdasarkan pengertian ini semua objek dan peristiwa kasat mata, objek seni atau benda keperluan sehari-hari diposisikan sebagai teks komunikasi sosial-budaya.
Budaya visual sebagai suatu aktivitas sosial-budaya sehari-hari sampai saat ini masih relatif kurang dikaji secara ilmiah, atau dipahami secara kurang tepat. Misalnya anggapan seluruh produk kasat mata dari zaman purbakala disebut produk budaya visual. Selain itu juga anggapan budaya visual hanya berupa produk visual yang dihasilkan melalui teknologi digital.
Karakteristik kebaruan budaya visual terletak pada cara pandang, yaitu terfokus pada pengungkapan konstruksi sosial-budaya dari teks visual tanpa dibatasi ruang dan waktu. Dari benda prasejarah, lukisan, patung, komik, billboard, pengubahan warna kulit dan rambut, fesyen, film, game on-line, sampai augmented reality, semua ini disebut teks visual.
Guru, peserta didik, dan masyarakat luas dalam kesehariannya menjalankan budaya visual, utamanya melalui media sosial. Berbagi foto, meme, video, menonton potongan berita, film, dan sejenisnya, semua ini adalah praktik budaya visual. Bagi pengunggah, terjadi proses encoding, yaitu seleksi tanda paling mewakili pesan yang hendak disampaikan. Bagi penerima, dalam benaknya berlangsung proses penerjemahan dan penafsiran tanda (decoding), sehingga terbentuk persepsi yang bisa sama atau berbeda dengan pesan yang dimaksud oleh pengirim.
Literasi budaya visual
Pesan berupa teks visual yang diunggah di media sosial sama artinya dengan dipublikasikan. Konteks pesan beralih dari wilayah pribadi ke publik, sehingga memiliki konsekuensi hukum. Unggahan konten visual yang merugikan pihak lain dapat berujung di pengadilan. Oleh karena itu dibutuhkan literasi budaya visual dalam memperlakukan teks visual di media sosial.
Prinsip metafungsi dapat dipakai sebagai salah satu teknik menulis dan membaca dengan kaca mata budaya visual. Metafungsi, seperti diuraikan dalam Social semiotics and visual grammar, a contemporary approach to visual text research (Moerdisuroso, 2014), adalah pemikiran Halliday (1978) bahwa setiap pernyataan buatan manusia selalu berorientasi sosial dan memiliki tiga fungsi; ideasional, interpersonal, dan tekstual.
Fungsi pertama menanyakan siapa, apa, di mana, kapan, mengapa, bagaimana dari struktur wujud suatu teks visual. Wujudnya dapat berupa gambar objek dan narasi peristiwa seperti terlihat di alam nyata, atau gambar konseptual seperti diagram, peta, infografik dan sejenisnya.
Fungsi kedua terdapat pada posisi dan hubungan interaksi antar-partisipan tergambar dan relasinya dengan pemirsa. Sistem interaksi ini, antara lain melalui arah tatapan mata (gaze) memosisikan pemirsa sebagai penonton saja atau terlibat secara imajiner ke dalam gambar. Selain itu sistem interaksi juga merefleksikan hubungan antar-partisipan tergambar dan pemirsa secara intim atau publik, lebih tinggi atau rendah, dan menguasai atau dikuasai.
Fungsi terakhir berurusan dengan ihwal yang diusung di dalam teks. Melalui pengaturan komposisi kiri-kanan, atas-bawah, tengah-tepi, dapat mencerminkan perlakuan terhadap isu yang digambarkan sebagai sesuatu yang sudah/sedang/akan terjadi, kenyataan atau harapan, utama atau pelengkap. Selain itu penggambaran suatu bagian objek secara menonjol atau samar, dibatasi dengan tegas atau tidak, dapat memperlihatkan pembingkaian terhadap suatu isu dari keseluruhan konten visual.
Peniru ulung
Ras manusia ditakdirkan sebagai peniru ulung. Lingkungan sosial-budaya, faktual atau virtual, sangat mempengaruhi pengetahuan dan sikap seseorang. Apalagi anak usia sekolah, yang seluruh aspek mentalnya sedang tumbuh, yang lebih mudah menyerap informasi visual ketimbang verbal.
Mereka yang lebih tertarik mengonsumsi informasi secara virtual dengan tampilan interaktif dipenuhi citra visual, dari pada faktual yang dirasa membosankan. Pendidikan budaya visual perlu mengambil peran untuk mengarahkan, memfasilitasi, menstrukturkan, dan menyistemkan semua pengalaman virtual tersebut menjadi pengetahuan dan sikap yang bermakna bagi kehidupan peserta didik.
Budaya visual juga memasuki wilayah pendidikan seni rupa, disebut Visual Culture-Art Education (VCAE). Pendidikan seni rupa sebelumnya disebut Discipline Based-Art Education (DBAE). Kedua istilah ini sudah sangat lazim digunakan dalam medan perbincangan pendidikan seni rupa dunia, namun di Indonesia masih sangat jarang terdengar, dan terindikasi belum digunakan.
Dalam naskah Permendikbud tentang kurikulum dan silabus tidak ditemukan kata budaya visual dan VCAE. Karena kurikulum nasional menjadi acuan utama pembelajaran di sekolah umum, dengan sendirinya guru seni rupa juga belum menggunakan kedua istilah tersebut.
Praktik budaya visual sehari-hari berlangsung sangat marak. Dari anak usia dini sampai lanjut usia, anak jalanan sampai pejabat tinggi, semua sudah sangat familiar dalam berkomunikasi dengan teks visual. Namun sangat disayangkan dunia pendidikan seni rupa sejauh ini belum memberi porsi terhadap fenomena budaya visual ini.
Tidak harus dimulai dengan porsi besar, misalnya mengusik kurikulum, untuk menjadikan budaya visual sebagai sistem pengetahuan di sekolah. Berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan komunitas pendidik seni rupa di wilayah tertentu, seperti sedang penulis lakukan dengan musyawarah guru mata pelajaran seni budaya SMA di Jakarta, dapat menjadi porsi kecil untuk mengejar ketinggalan belajar seni rupa.
Recent Comments