TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menyebut standar garis kemiskinan global berubah seiring dengan meningkatnya inflasi. Perubahan itu sebelumnya telah dilakukan oleh Bank Dunia.
Menurut Faisal, ketika harga barang meningkat, secara otomatis garis kemiskinan harus naik. “Itu karena secara nominal, dengan adanya inflasi yang tingkat atau jumlah yang dibeli dengan satuan tertentu, tentu saja menjadi lebih kecil karena itu bukan nilai riil, tapi nilai nominal,” ujar Faisal kepada Tempo, Minggu, 2 Oktober 2022.
Hal yang sama, kata Faisal, berlaku bagi Indonesia. Menurutnya, garis kemiskinan semestinya meningkat karena inflasi tahun ini yang lebih tinggi. Tujuannya agar pemerintah bisa memotret kemampuan daya beli masyarakat, terutama dari kalangan miskin, secara nyata.
“Jadi intinya kalau inflasi meningkat, garis kemiskinan harus dikoreski untuk bisa mencerminkan kondisi riil kalangan bawah, daya beli dari kalangan miskin,” kata Faisal. Maksudnya, lebih baik angka biskin bertambah, tapi terpotret dan bisa diberikan perhatian lebih daripada angka kemiskinan tetap rendah, namun ada kalangan miskin yang tidak tertangani.
Adapun, Faisal menjelaskan, yang menjadi basis perhitungan garis kemiskinan dari Bank Dunia adalah purchasing power parity atau keseimbangan kemampuan berbelanja antarnegara. “Jadi untuk bisa membandingkan antara negara satu dan lainnya itu harus berdasarkan purchasing power parity,” kata dia.
Sebab, jika hanya dihitung dari besaran nilai tukar, kurs dolar di satu negara dengan negara lain berbeda. “Satu dolar di Amerika Serikat, misalnya, itu secara basket dari barang yang bisa dibeli itu lebih sedikit dibandingkan dengan di Indonesia. Jadi untuk bisa sebanding, ini harus berdasarkan purchasing power parity,” ucap Faisal.
Sebelumnya, Bank Dunia dalam laporan terbarunya mengubah standar garis kemiskinan yang mengacu pada aturan purchasing power parities (PPP) 2017, menggantikan PPP 2011. Dengan adanya perubahan tersebut, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$ 2,15 atau setara dengan Rp 32.757,4 (dengan acuan kurs Rp 15.236 per dolar Amerika) per orang per hari pada PPP 2017. Standar tersebut naik ketimbang PPP 2011, yaitu sebesar US$ 1,9 atau Rp 28.984,4 per orang per hari.
Perubahan itu pun berdampak signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Indonesia. Dalam laporannya di World Bank East Asia and The Pacific (EAP) Economic Update Oktober 2022, dituliskan bahwa Bank Dunia memaparkan jumlah penduduk miskin kelas menengah bawah (lower-middle income) di Indonesia dengan standar PPP 2011 berkisar 54 juta jiwa.
Bila mengacu pada standar PPP 2017, jumlah tersebut akan meningkat menjadi 67 juta jiwa. Ini artinya, jumlah masyarakat miskin di Indonesia berpotensi naik hingga 13 juta jiwa. Sementara itu, jumlah penduduk miskin kelas menengah bawah (lower-middle income) di Cina akan bertambah 20 juta jiwa, yaitu dari 24 juta jiwa (PPP 2011) menjadi 42 juta jiwa (PPP 2017). Sedangkan jumlah penduduk miskin kelas menengah bawah (lower-middle income) di kawasan Asia Pasifik berjumlah 115 juta jiwa (PPP 2011) dan berpotensi melojak menjadi 148 jua jiwa (PPP 2017).
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menyatakan pihaknya bakal membahas ulang standar garis kemiskinan yang baru saja direvisi Bank Dunia. Aturan yang ditetapkan Bank Dunia itu, kata Isa, akan menjadi salah satu faktor yang memengaruhi Indonesia dalam memutuskan standar garis kemiskinan.
“Itu kan satu informasi baru yang kita dapat dari World Bank, jadi itu akan menjadi bahan evaluasi tentunya perlu rapat kabinet dan sebagainya,” ucapnya di Jakarta Pusat, Jumat, 30 September 2022.
RIRI RAHAYU | MOH. KHORY ALFARIZI
Baca juga: Per Hari Ini, Harga Pertamax Turun Jadi Rp 13.900 per Liter
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini
Recent Comments