DALAM dekade belakangan ini, integrasi keilmuan tidak hanya menjadi wacana, tapi juga sudah diimplementasikan di kampus-kampus perguruan tinggi Islam, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
Implementasi integrasi keilmuan itu, misalnya, dibuktikan dengan semakin menjamurnya lembaga pendidikan yang berupaya menggabungkan studi keislaman dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Bahkan, tidak hanya di tingkat lanjut (perguruan tinggi), tapi juga di tingkat pendidikan dasar dan menengah, misalnya dengan, semoga tidak sekadar latah, menambahkan IT (Islam terpadu) di belakang nama sekolah.
Bahkan, dalam pendidikan pesantren, sudah mulai muncul trensains, akronim dari persantren sains, yang juga bagian dari upaya mengaktualisasikan integrasi keilmuan di lembaga pendidikan, yang notabene lahir dari tradisi khas masyarakat Islam di Indonesia.
Secara konseptual, gagasan integrasi keilmuan sesungguhnya lebih dekat dengan wacana metamodernisme daripada pascamodernisme. Pascamodernisme dianggap bersifat ‘reaktif’ terhadap modernitas, sementara metamodernisme lebih dipandang sebagai sesuatu yang ‘integratif’ (berkelanjutan) terhadap kemodernan.
Peran Muhammad Arkoun
Dalam khazanah kewacanaan Islam, metamordenisme bukanlah istilah baru. Istilah itu di antaranya dipopulerkan pemikir studi Islam kontemporer kelahiran Aljazair yang kemudian bermukim di Prancis, Muhammad Arkoun.
Di dalam belantika kewacanaan (Islam), Arkoun dipandang sebagai pembuka ‘cakrawala baru’, utamanya lewat kajiaannya yang kritis terhadap tradisi klasik pemikiran Islam dan membandingkannya dengan wacana kontemporer lainnya. Begitu mendasarnya kritik Arkoun terhadap tradisi pemikiran Islam menyebabkan ia dipandang sebagai pembuka jalan ‘epistemologi baru’ pemikiran Islam.
Di Tanah Air, upaya memperkenalkan pemikiran Arkoun sudah dirintis sejak akhir 1980-an dan 1990-an. Beberapa publikasi ilmiah tentangnya mulai banyak bertebaran, di antara tokoh yang cukup gigih di bidang itu, misalnya, Johan Hendrik Meuleman, peneliti berkebangsaan Belanda yang bergabung pada INIS (Indonesian-Netherlands Coorperation in Islamic Studies).
Di samping itu, masih beberapa nama lagi, seperti M Amin Abdullah, Komaruddin Hidayat, dan yang pertama oleh Mohamad Nasir Tamara lewat sebuah diskusi di Yayasan Empati (1987) Jakarta, dan sebuah artikelnya di Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulummul Qur’an (1989).
Paradigma metamodernisme (nalar metamodern), berpangkal dari kekhasan pemikiran Arkoun yang melampaui batas-batas kemodernan dan pascamodernisme (Johan Hendrik Meulemen, 1996).
Pada satu sisi, unsur-unsur pascamodernisme begitu kental mewarnai pemikiran Arkoun, dengan pemikiran tokoh-tokoh pascamodernisme seperti Michel Foucault (misalnya tentang episteme dan analisis ‘arkeologis’) dan Jacques Derrida (mengenai logosentrisme dan dekonstruksi).
Pada sisi lain, Arkoun tidak mempertentangkan antara pemikiran modern dan pascamodern. Bahkan, dalam hal tertentu, Arkoun justru melihat adanya kemiripan di antara keduanya, yaitu adanya pencerminan hegemoni dan dominasi Barat. Penolakan yang ekstrem terhadap agama (dalam wujud sekularisme) dan keangkuhannya terhadap ‘dunia luar’ (the other).
Bagi Arkoun, pascamodernisme hanyalah kelanjutan dari modernisme, tidak lebih. Karena itu, ia lebih condong memasukkan pascamodernisme sebagai bagian dari mata rantai pemikiran modernisme.
Dengan demikian, tidak salah pengamatan Luthfi Assaukanie (1994) yang menyatakan, sampai kini khazanah kewacanaan di dunia Islam, termasuk karya- karya Muhammad Arkoun, belum beranjak dari pembahasan sebatas hubungan Islam dengan kemodernan (modernisme).
Namun, Muhammad Arkoun, bersama sejumlah kecil pemikiran Arab lainnya, seperti M Abid Jabiri, boleh dipandang terutama dengan metode strukturalisme mereka sebagai pelopor yang mencoba menerapkan beberapa konsep pascamodernisme ke dalam pemikiran Islam.
Keberpihakan Arkoun pada wacana modernisme, misalnya, juga diungkap Suadi Putro, Islam Menghadapi Tantangan Kemodernan: Pandangan Muhammad Arkoun (1996). Studi itu tidak saja menunjukkan bagaimana eratnya hubungan pemikiran Arkoun dengan wacana kemodernan, tapi juga memperlihatkan pandangan Arkoun tentang Islam dalam menghadapi problem modernitas, seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan rasionalisme, negara bangsa (nation state) dan nasionalisme, dan sekularisme.
Dengan bertolak dari situasi itu, Arkoun menyarankan agar umat Islam tetap kritis terhadap Barat baik modern maupun pascamodern. Namun, pada sisi lain Arkoun juga menyerukan adanya ‘pembongkaran’ (dekonstruksi) yang menyeluruh terhadap tradisi Islam.
Sebagai solusi, Arkoun menawarkan suatu paradigma metamodernisme yang merupakan perpaduan antara sikap rasional dan kritis dari budaya modern (Barat), dengan semangat pada angan-angan yang bertolak dari nilai Islam. Hal itulah yang boleh dibilang sebagai integralisasi keilmuan Islam.
Dua sumber
Pemikiran Arkoun, sebagai pemikir yang meneguk langsung dari dua sumber ‘mata air’ besar (yaitu Islam dan Barat), memang kaya akan warna-warni, baik sisi epistemologi (filsafat) maupun pada aspek metodologi (aplikasi).
Itu termasuk, dalam kategori metodologi, misalnya, keterpautan pemikiran Arkoun dengan beberapa metode filsafat masa kini (utamanya yang berkaitan dengan bahasa), seperti metode filsafat hermeneutika (metode tafsir teks), serta pendekatan semiotika (bahasa sebagai sistem tanda).
Lebih dari itu, pemikiran Arkoun juga menjangkau persoalan sosiologi agama, termasuk satu masalah dari masa ke masa senantiasa mengalami ketegangan, yaitu sintesis hubungan Islam dan politik dan ketatanegaraan.
Persoalan klasik sekularisme menjadi agenda yang penting. Bagi Arkoun, hubungan Islam dan sekularisme sampai kini masih tetap pada titik yang gamang (ambigu). Di satu sisi, sekularisme secara mutlak tak dibenarkan, tetapi pada sisi lain desekularisasi, yang berarti upaya ‘penyatuan agama dan negara’, juga dipandang masih memendam persoalan yang tidak ringan.
Namun, yang terpenting dari pemikiran Arkoun ialah upayanya melakukan semacam ‘kritik epistemologi’ terhadap rancang bangun pengetahuan Islam. Sisi lain dipandang penting karena menyangkut persoalan yang mendasar dari teradisi diskursus Islam, yaitu cara berpikir islami atau menurut istilah Arkoun sebagai metode ‘nalar islami’.
Titik perhatian Arkoun dalam hal ini menyangkut asas ilmu pengetahuan Islam, yang wilayah jangkauannya mencakup kekurangan-kekurangannya.
Menurut M Amin Abdullah, paradigma ‘kritik epistemologi’ yang ditawarkan Arkoun memiliki jangkauan kebermaknaan yang jauh menukik dan menyengat lantaran menyangkut bangunan ‘keilmuan’ ilmu-ilmu agama secara keseluruhan.
Itulah yang membedakan Arkoun dengan filsuf-filsuf lain yang beraliran kritis, baik filsuf dari kalangan Islam maupun nonmuslim, seperti Immanuel Kant ataupun Thomas S Kuhn. Karena itu, kritik epistemologi Arkoun, meski bertolak dari tradisi pemikiran Islam, juga memperoleh gaung di lingkungan masyarakat berbagai agama.
Namun, pembongkaran (dekonstruksi) yang ditawarkan Arkoun bukanlah ‘pembongkaran demi pembongkaran’ semata. Yang terpenting dari sebuah ‘pembongkaran’ justru rekadaya ‘pembangunan’-nya kembali (rekonstruksi).
Suatu upaya dekonstruksi tanpa sebuah rekonstruksi ialah anarki. Setiap sesuatu yang anarki pastilah berakhir ‘kehampaan’ atau nihilistik. Titik itulah, barangkali, yang membedakan Arkoun (sekaligus aksiologi penolakannya) dengan filsuf-filsuf pascamodernisme semacam Derrida, Foucault, Vatimmo, dan Lyotard yang cenderung ekstrem dan fatalistik.
Demikanlah, Arkoun telah menggariskan ‘cakrawala baru’ dalam perkembangan pemikiran Islam. Studi tentangnya, baik yang pro maupun kontra, juga sudah banyak bertebaran. Namun, dengan menempatkan nilai-nilai Islam sebagai ‘sumber’ (nalar islami), pemikiran Arkoun bisa menjadi titik pijak untuk integralisasi keilmuan Islam. Semoga!
Penulis yang lahir 8 Januari 1969 ini wafat 20 Juli 2022 di Jakarta dan dimakamkan di Sragen, 21 Juli 2022. Ini merupakan karya terakhirnya yang dimuat di media massa.
Recent Comments